Selasa, 11 Desember 2012

Dua Bungkus Nangka

Pulang dari sekolah kemarin, aku menumpang angkot. Sekitar lima menit, angkot yang kutumpangi ngetem di sebuah terminal. Terminal tersebut berfungsi ganda sebagai pasar. Seorang ibu bersama dua anaknya masuk ke dalam angkot. Wanginya nangka yang dibawa anak kecil berusia sekitar empat tahun hampir saja membuat aku ngiler dan melirik toko buah yang terlihat jelas dari dalam angkot.
Sebut saja Ade anak kecil yang bersama ibu sementara Teteh anak ABG yang juga bersama si Ibu. Ade asyik memakan buah nangka siap makan dalam dua kantong plastik bening, sementara Teteh asyik memainkan ponselnya. Ade memperlihatkan biji nangka kepada ibunya, Si Ibu memerintahkan Ade untuk membuang tepat di depan tempat duduknya. Ya, di dalam angkot. Alhasil seluruh biji nangka plus bungkus plastik dibuang di dalam angkot. Ketika mereka turun dan penumpang yang lain naik, kontan sampah tadi terinjak-injak dan makin berserakan. Ups, apakah ongkos angkot sudah termasuk ongkos pembersihan sampah? Lantas kenapa tidak disediakan tempat sampah di dalam angkot. Apakah sampah harus ditempatkan pada tempatnya? lantas kenapa kadang penumpang tak mau repot untuk memegang sampah sementara hingga menemukan tempat sampah.

Sabtu, 17 November 2012

Kena Narkoba, Siapkan 30 Juta

Jam satu siang kemarin sekolah terasa sepi, pasalnya setiap jum’at KBM memang selesai sekitar pukul 11.00, beberapa guru berkumpul di sebuah ruangan untuk mengikuti English Class bersama seorang native dari Ohio. Salah seorang guru tiba-tiba minta ijin untuk menerima telpon di luar, tampaknya ia sangat serius. Hal tersebut membuat kami penasaran.

 Usai belajar beliau kemudian bercerita bahwa beliau mendapat telpon yang mengabarkan bahwa anaknya tengah berada di kantor polisi karena kedapatan sedang menggunakan narkoba. Si Ibu hampir tak percaya jika anaknya menggunakan narkoba. Sangat logis memang anak beliau memang saya kenal cukup baik di kelas karena kebetulan anak beliau sempat saya ajar. Rasanya tak ada tanda-tanda bahwa anak itu adalah “pengguna”. Si Ibu kemudian terkagetkan dengan suara mirip anaknya di telpon yang sedang menangis karena sedang dipukuli di kantor polisi.” Polisi” yang berbicara ditelpon kemudian menyatakan bahwa beliau bisa menebus anaknya dari kantor polisi asal beliau tidak mengatakannya kepada siapa pun. Ia meminta tebusan tiga puluh juta rupiah.

Dalam keadaan bingung beliau mencari Wakasek kesiswaan, namun beliau sedang tidak ada di tempat. Beliau kemudian bertemu dengan salah seorang pegawai tata usaha dan menyarankan supaya si Ibu menghubungi ponsel anaknya. Ya, sebuah ide yang mungkin tak terpikirkan saat seorang ibu sangat khawatir dengan anaknya. Ia kemudian mengikuti saranya, dan….. saat nomor ponsel sang anak dihubungi yang menjawab ternyata anaknya sendiri yang sedang adem ayem ada di rumah. Lalu, anak yang menangis tadi di telpon yang katanya sedang dipukuli di kantor polisi itu siapa? Dia memang seorang anak dari salah seorang wanita di dunia ini tentunya.

Hampir saja Ibu Guru tadi tertipu. Alhamdulillah saat panik ia masih bisa berpikiran jernih dan meminta pendapat orang lain. So, Ibu-ibu atau siapa pun jangan langsung percaya dengan suatu informasi apalagi dari orang yang jelas-jelas tidak kita kenal, upayakan selalu ceck and receck!

Jumat, 09 November 2012

Aku Enggak Mau Sekolah

“Bunda, aku ga akan sekolah ah” jagoanku yang memang belum bersekolah itu tiba-tiba nyeplos sebelum beranjak ke tempat tidur. “Lho, memangnya kenapa?” tanyaku heran. “ Aku mau di rumah aja ah, biar bisa main terus” jawabnya polos. “Di sekolah juga main lho.” Aku berusaha menjelaskan. “Engga Bunda, di sekolah itu bukan main tapi berajar” ucapnya.
“O ya?”
“Iya Bunda, di sekolah itu nanti berajar matematika. Bunda tahu engga matematika apa?”
“Engga, memangnya apa?”
“ Matematika itu berhitung Bunda, ih pusing”
What? Aku tambah bengong anak usia empat tahun sudah kenal kata pusing. Aku berusaha menganalisis mengapa anakku menganggap matematika itu pusing dan di sekolah itu tempat belajar bukan bermain seolah bermain dan belajar itu dua hal yang bertolak belakang dan keduanya tak bisa disatukan.
Setiap hari sebetulnya dia belajar berhitung meski tak pernah dilabeli matematika atau berhitung. Dia bahkan belajar atas kemauannya sendiri, dimulai menghitung jarinya hingga kemudian dia memahami symbol jumlah berupa angka. Belakangan bahkan dia sering menanyakan volume, menanyakan penjumlahan tak hanya satuan tapi puluhan bahkan ratusan. Tapi mengapa dia menganggap jika matematika itu sulit? Dia tak sadar bahwa hari-harinya penuh dengan matematika.
Selidik punya selidik, image matematika itu sulit, sekolah itu mengekang kebebasan bermain pasti diperolehnya dari lingkungan. Selama ini dia banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman sepermainannya, sebagian besar teman-teman bermainnya sudah bersekolah baik di PAUD maupun TK. Sering pula ia bermain dengan famili dan anak-anak usia SD. Sepertinya “image” tadi ia dapatkan dari teman-teman bermainnya. Kalau demikian adanya, ini jadi PR besar untuk orang tua dan guru agar anak merasa senang bersekolah.