Minggu, 27 Desember 2015

Ibuku Dosen Pembimbingku



Hari-hari di laboratorium terasa begitu panjang dengan setumpuk pekerjaan yang sudah kumulai berbarengan dengan awal kehamilan anak yang begitu lama kudambakan. Menimang bayi, adalah kebahagian paripurna yang tak ingin kulepaskan. Suatu malam di akhir bulan Mei 2008, kutimang bayi merah yang seharian kutinggalkan. Tiba-tiba suara Ibu mengejutkanku, “ Teh, bagaimana penelitiannya? Sudah sampai mana?” pertanyaan yang paling malas aku dengar. Penuh terpaksa aku menjawab, “ Entahlah Bu, mungkin takkan selesai” kujelaskan panjang lebar soal bahan yang sulit didapatkan bahkan harus indent berbulan-bulan karena harus impor, beberapa pengukuran serta perlakuan yang harus dilanjutkan. Ibu manggut-manggut mendengar penjelasanku yang jelas bukan bidang keahliannya lalu menyarankan aku untuk mencari distributor lain dan menghadap dosen pembimbing untuk minta masukan. Saran ibu aku jalankan dan Alhamdulillah bisa lulus sidang tesis beberapa bulan kemudian.

Saran ibu manjur bukan kali itu saja. Suatu waktu adikku menangis mengaku takut menghadap dosen pembimbingnya karena menurut pengalaman para seniornya, mahasiswa yang dibimbing dosen tersebut sering menangis setelah bimbingan. Adikku malah menangis sebelum bimbingan. Tiba-tiba ibu berujar, “ Temui dia, dia pasti baik sama kamu” seolah ibu pernah bertemu dengan dosen tersebut. Benar saja, pulang bimbingan wajah adikku sumringah “ Tak seseram yang diceritakan orang” katanya. Adikku bisa lancar mengerjakan skripsinya dibawah bimbingan dosen yang awalnya dia takuti. Sang dosen bahkan mendorong adik untuk melanjutkan S2 dan bersedia memberikan surat rekomendasi.

Di kampus kami memiliki dosen pembimbing yang sangat ahli di bidangnya masing-masing  tapi di rumah kami pun memiliki dosen pembimbing yang selalu siap saat dibutuhkan bahkan tanpa perlu janjian. Ibu bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, jangankan S3 SD pun tak usai dia selesaikan karena kedua orang tuanya bercerai dan pendidikan di desanya saat itu tak terperhatikan.

Ibu bagi kami bukan saja dosen pembimbing skripsi atau tesis melainkan pembimbing kami dalam menjalani  universitas kehidupan.  Kuliah ibu baik verbal maupun nonverbal sangat membekas. Ibu adalah orang yang pantang menyerah bahkan saat setrika rusak tak membuat ibu batal menyetrika, setrika yang belum atomatis di akhir tahun delapan puluhan memaksa ibu menggunakan obeng untuk membongkarnya dan diketahui penyebabnya adalah elemen yang telah rusak. Setelah elemen diganti, setrika berfungsi kembali. Entah dari mana ibu bisa mengetahui peralatan elektronik.

Tak hanya itu, ibu juga adalah orang yang penyabar, tak banyak menuntut dan penuh daya juang. Sebagai isteri seorang PNS golongan II dengan gaji alakadarnya, ibu tak banyak menuntut. Untuk menambah pendapatan keluarga ibu menjadi penjahit. Terkadang ibu sampai tak tidur semalaman jika ada pesanan yang harus segera diselesaikan.

Ibu juga adalah wanita yang pandai memenej situasi. Suatu malam ayah terbaring dan memanggil keempat anaknya untuk mengaji. Ibu duduk disampingnya sambil memegang erat tangannya. Sesekali kulirik ayah yang nafasnya tampak semakin perlahan. Ibu membisikan kalimah thoyibah di telinga ayah. Rupanya ayah kami tengah menghadapi sakaratul maut. Napasnya semakin perlahan hingga akhirnya tak bernapas lagi. Menangis? Tentu saja ibu menangis tapi tidak meraung-raung. Ibu memintaku mendatangi paman yang rumahnya tak begitu jauh untuk menyampaikan berita tersebut dan mempersiapkan pemakaman keesokan paginya.

Ibu kemudian menjadi single parent yang harus membesarkan empat anak perempuan yang masih harus dibiayai. Saat itu aku tengah kuliah tingkat tiga, adik kedua tingkat dua, adik ketiga duduk di bangku SMA dan si bungsu SMP. Alhamdulillah, perjuangan ibu mengantarkan kami menyelesaikan sekolah dan memasuki biduk rumah tangga. Terima kasih ibu, atas segala perjuangan dan pelajaran yang ibu berikan.

Jumat, 25 Desember 2015

300 Doktor Bukan Jalan Tol



Sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas PNS di lingkungan provinsi Jawa Barat dan kabupaten-kabupaten se-Jawa Barat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui BKD Jawa Barat meluncurkan Program 300 Doktor. Pertanyaan yang sering dilontarkan kepada para peserta yang dinyatakan lolos mengikuti program ini adalah, “Jadinya kuliah ke mana? Kapan berangkat?” seolah lolos seleksi program ini merupakan tiket langsung untuk kuliah di luar negeri.

Kenyataannya, program ini sebenarnya mirip dengan camp pelatihan untuk mempersiapkan kuliah di luar negeri. BKD Jabar hanya memfasilitasi saja, semua kembali pada perjuangan peserta dan takdir juga pastinya. Lalu apa untungnya mengikuti program ini jika akhirnya masih harus berjuang juga padahal untuk mengikuti program ini peserta harus melalui tes TOEFL, Psikotes dan wawancara?

Ada beberapa keuntungan yang didapat dengan mengikuti program 300 doktor. Diantaranya
  • Mendapat fasilitasi persiapan bahasa
Untuk dapat diterima di universitas di luar negeri biasanya ada persyaratan bahasa yang harus dipenuhi. Untuk English speaking countries biasanya diperlukan skor IELTS atau TOEFL. BKD Jabar memfasilitasi para peserta dengan kursus persiapan dan juga tes yang kalau mengeluarkan biaya sendiri bisa menguras sekitar satu bulan gaji golongan III. Selain bahasa inggris, BKD juga memfasilitasi peserta untuk mengikuti kursus bahasa asing lain jika negara tujuan mempersyaratkannya, misalnya kepada beberapa peserta yang bermaksud kuliah di China diberikan kursus bahasa mandarin.
  • Mendapat workshop penulisan proposal penelitian dan bimbingan
Research Proposal biasanya merupakan salah satu syarat untuk mendaftar ke universitas tujuan. Kesibukan para PNS struktural ataupun fungsional guru dalam pekerjaannya seringkali menyita waktu sehingga jarang melakukan penelitian. Oleh sebab itu, kemampuan membuat proposal riset masih perlu diasah. Workshop penulisan proposal sangat bermanfaat tentunya bagi para peserta. Selain itu, peserta juga diberi dosen pembimbing dalam pembuatan proposal.

  •  Memperoleh informasi beasiswa
Lho informasi beasiswa, bukan beasiswa? Ya, benar pembiayaan studi para peserta nantinya harus dicari dari para sponsor scholarship. BKD Jabar hanya memberikan informasi saja ataupun memberikan trik agar dapat lolos beasiswa dengan mengundang para alumni yang telah lolos beasiswa maupun pernah gagal dalam mendapatkan beasiswa sehingga para peserta bisa belajar dari kesuksesan maupun kegagalan orang lain.

  • Mendapat fasilitasi keikutsertaan dalam seminar atau konferensi
BKD Jabar juga memfasilitasi para peserta untuk dapat berpartisipasi dalam seminar atau konferensi internasional. Sejauh ini yang pernah difasilitasi adalah konferensi internasional yang diselenggarakan di dalam negeri. Mungkinkah difasilitasi mengikuti seminar atau konferensi di luar negeri? Tentang hal ini para peserta harus proaktif menanyakan kepada pihak BKD.

  • Memperoleh lingkungan kondusif untuk selalu memelihara semangat belajar
Para peserta program 300 doktor setidaknya memiliki satu kesamaan yaitu semangat untuk melanjutkan studi, namun semangat tersebut kadang naik turun tapi tentunya saat semangat turun masih saja ada diantara peserta yang masih bersemangat dan menularkan semangatnya kepada peserta lainnya. Ditambah lagi adanya mentor (yang meskipun sudah dipindah tugaskan) sering memberikan dorongan kepada para peserta untuk terus berjuang.

Latar belakang peserta yang berasal dari berbagai dinas juga memberi warna tersendiri. Banyak wawasan yang didapat secara tidak langsung melalui obrolan ringan diantaranya mengenai birokrasi di dinas-dinas tertentu, pekerjaan-pekerjaan yang harus diurus dinas-dinas tertertentu maupun pengalaman para peserta saat kuliah di negara tertentu. Semuanya menyadarkan diri bahwa apa yang telah kita lakukan ternyata belum banyak dan apa yang telah kita ketahui masih sangat sedikit, oleh sebab itu perlu terus belajar dan belajar dan tak lupa mengamalkannya.

Jadi…. Program 300 doktor tentu saja bukan jalan tol. Masuk program ini berarti harus siap memulai perjuangan hingga dapat kuliah dan lulus, Aamiin, Insya Allah.

Minggu, 13 Desember 2015

Busuk Vs Kotor Jiwa

( Pernah diposkan pada blog pribadi yang telah kena suspend)

Indah sekali sebuah hadis dalam Terjemah Riadus Shalihin jilid 4,
“Aisyah ra. Berkata : ‘Rasulullah saw. Bersabda, “Janganlah seorang dari kamu mengatakan jiwaku busuk, tetapi gantilah kata itu dengan jiwaku kotor” (Muttafaq Alaih)

Sekilas tak nampak terlalu beda, namun jika kita resapi betapa busuk dan kotor itu jauh berbeda. Tanpa bermaksud menafsirkan namun sekedar berusaha memaknai. Secara biologis busuk dan kotor itu sangat berbeda, jika sesuatu busuk tentu kotor tapi sesuatu yang kotor belum tentu busuk. Busuk biasanya disebabkan oleh terurainya suatu materi oleh bakteri dan jamur sehingga materi tersebut  tidak utuh lagi. Jika kita misalkan materi itu apel maka apel yang busuk tidak bisa dikembalikan ke bentuk semula, jika apel itu busuk sebagian dan kita masih ingin mengambil sebagiannya maka bagian yang busuk harus dipotong (amputasi). Proses pembusukan sering pula mengakibatkan bau yang tidak sedap bahkan bakteri-bakteri pembusuk tertentu bias juga mengeluarkan racun, maka dapat dipastikan materi yang busuk tidak dapat dikembalikan ke keadaan semula. Terbayang jika yang busuk itu adalah jiwa maka tidak dapat dikembalikan kepada keadaan fitrahnya. Na’udzubillah….

Kotor artinya suatu materi tercemari bahan tertentu sehingga materi tersebut tak bersih lagi. Jika kita ibaratkan yang kotor itu adalah apel, maka ketika apel itu terkena  tanah menjadi kotorlah ia, namun kita masih bisa memanfaatkannya, apel tersebut masih bias kita cuci dan kandungan apelnya tidak jauh berbeda. Artinya jika sesuatu itu kotor masih terbuka peluang untuk mengembalikannya ke keadaannya semula dengan cara pencucian meski pembersihannya mungkin berbeda tergantung jenis pengotor dan tingkat kekotorannya. Begitu pula dengan jiwa, jiwa yang kotor masih sangat terbuka peluang untuk dibersihkan.

Indah sekali ungkapan Rasulullah “ Janganlah seorang dari kamu mengatakan jiwaku busuk tetapi gantilah kata itu dengan jiwaku kotor”. Busuk dan kotor itu beda. Kotoran-kotoran bisa sering kali menghinggapi jiwa namun terbuka peluang yang sangat besar untuk membersihkannya, tapi jangan ditunda karena bisa jadi bandel itu noda.

Allahumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa fa’fuanna
اللْهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Minggu, 06 Desember 2015

Belajar dari Film Biru



Beberapa waktu yang lalu sebelum berangkat bekerja, pagi-pagi si kecil yang baru berusia tiga tahun minta ditemani nonton film-film koleksinya. Awalnya tak begitu saya perhatikan karena focus saya agak terbagi dengan persiapan berangkat. Lama-lama saya tertarik juga dengan film tersebut, bukan soal film birunya (kebetulan cover CDnya berwarna biru, hehe…J) tapi soal isinya. By the way, saya sebut saja film tersebut “film biru” saja mengingat anak saya kerap memanggilnya begitu karena belum lancar membaca ia sering menyebut sesuatu berdasarkan warna atau gambarnya.

"Film biru" itu berkisah tentang salah seorang tokoh dunia yaitu Christopher Columbus. Terlepas dari masalah kontroversialnya penyebutan Columbus sebagai penemu benua Amerika, ada pelajaran berharga yang dapat diambil dari perjalanan hidup seorang Columbus. Columbus yang lahir di Genoa, Itali, tahun 1451 memiliki keinginan untuk berlayar sejak kecil. Sejak kecil ia memiliki komitmen untuk belayar. Ya, tidak sekedar ingin (meminjam istilahnya Pak Samsul Arifin) tapi komitmen. Komitmennya itu ia buktikan dengan seringnya pergi pelabuhan dan mencuri-curi kesempatan untuk menyentuh kemudi perahu. Sehingga tak jarang ia dimasukkan ke dalam karung oleh orang pelabuhan kemudian diantarkan ke rumahya agar tak kembali ke kapal. Namun, kejadian-kejadian tersebut tak mengurungkan tekadnya untuk berlayar.

Menginjak usia dewasa, tekadnya untuk mengarungi lautan semakin besar. Ia bertekad untuk berlayar ke Asia Timur dengan cara berlayar ke arah barat melintasi Samudra Atlantik. Sebuah cara yang tidak lazim saat itu. Banyak orang yang mencemoohnya, bahkan ketika dia meminta bantuan salah seorang pelayar dia malah ditendang dari pintu rumah sang pelayar. Salah seorang sahabatnya Galileo Galilei bahkan bersedih ketika melihat perlakuan yang dtitimpakan kepada sahabatnya tersebut dan mengatakan “ Sudah kubilang, orang-orang akan memperlakukanmu begini. Sudahlah urungkan niatmu!”. Dengan tenang Columbus menjawab, “O ya? Tapi bagiku itu bukanlah masalah.” Seraya pergi dengan entengnya.

Menyadari pelayaran yang ia rencanakan membutuhkan biaya yang besar, maka Columbus membujuk Ratu Isabella untuk membantunya. Ratu Isabella kemudian memerintahkan cendikiawan istana untuk menelitinya. Columbus terus mendesak, sementara Sang cendikiawan bersikeras bahwa itu adalah hal yang tidak mungkin, bahkan ia mengatakan “ Hanya orang yang tidak punya otak saja yang berencana demikian”. Sang Ratu nampaknya mendukung Columbus dengan perkataannya, “Kau katakana Columbus tidak punya otak? Dan Kau tidak punya mimpi!”

Singkat cerita akhirnya Columbus dapat berlayar ke Barat dan mendarat di Amerika. Film biru tadi member pelajaran bagi kita “ Betapa dahsyatnya mimpi yang tak sekedar keinginan, namun komitmen”.

(Pernah diposkan pada blog yang telah kena suspend 4 tahun lalu)