Kamis, 25 Februari 2016

Hidup Tanpa TV

Sudah bertahun-tahun televisi menjadi teman setia dalam keluarga kecil kami. Saat sendiri biasanya TV menemani.Namun gara-gara TV pula saya merasa jadi orang paling bawel di rumah terutama malam dan pagi hari. Saat menyuruh anak untuk ngaji dan sholat, seringnya anak saya akan menunggu iklan terlebih dahulu. Begitu pun di pagi hari, persiapan berangkat sekolah terasa sangat lamban karena sambil menonton TV. 

Hmmm.... saya harus bertindak. Memang seharusnya kita yang mengendalikan TV toh dia adalah barang, tapi kenyataannya sulit sekali bagi saya sekeluarga. Kadang ada kekhawatiran dalam diri terkait tontonan yang dilihat anak karena tidak terkontrol sepenuhnya misalnya saat memasak di dapur. Akhirnya saya dan suami membuat keputusan untuk menghentikan langganan TV kabel dan tidak menggantinya dengan antena apa pun. Kami masih bisa menonton TV kalau ada DVD. Hampir tiga bulan ini kami jarang menonton TV. 

Penyedia layanan TV kabel sudah menelpon berulang kali dan menawarkan promo-promo yang cukup menggiurkan. Tapi sudahlah, kami sudah cukup nyaman hidup tanpa TV. Awalnya anak kami merengek untuk dibelikan antena TV kalau tidak ada TV kabel. Namun seiring berjalannya waktu, dia mulai terbiasa. Ba'da maghrib setelah mengaji biasanya dia menonton TV sendiri sementara ayahnya belum pulang dan saya memasak di dapur. Sekarang karena tak ada TV biasanya dia duduk di dapur melihat saya memasak sambil meminta bermain tebak-tebakan. Kami merasa sangat dekat sekarang. Lepas isya yang biasanya juga digunakan untuk menonton televisi kini dia gunakan untuk membaca atau bermain teka-teki. Tapi konsekwensinya saya atau suami harus mau menemani dia membaca atau bermain. Tak apalah agar kami menjadi sahabatnya dari pada kedudukan kami di hatinya digantikan oleh TV. Saat ada TV sulit sekali anak disuruh tidur lebih awal sehingga sulit pula saat dibangunkan. Sekarang Alhamdulillah,dia lebih mudah tidur awal. Saya tak menyangka ternyata kami bisa hidup tanpa TV.

Jumat, 19 Februari 2016

Jangan Jadi Guru

Waktu kecil ketika pertama kali ditanya tentang cita-cita, saya ingin menjadi insinyur pertanian mungkin karena ayah yang bekerja di sebuah balai di bawah departemen pertanian sering menceritakan para peneliti yang bagi saya sangat luar biasa. Beberapa tahun kemudian datang sekelompok mahasiswa IAIN (sekarang UIN) yang melaksanakan KKN di kampung saya dan salah satu kegiatannya adalah mengajar anak-anak di balai RW. Saya pun berbelok, menjadi guru nampaknya mengasyikan. 
 
Cita-cita menjadi guru terpatri dalam benak hingga memasuki bangku SMA. Saat itu ada kabar bahwa di Indonesia dokter spesialis obgin masih sedikit perempuan. Munculah keinginan untuk menjadi dokter dengan pemikiran bahwa mungkin para wanita akan lebih nyaman diperiksa oleh dokter wanita. Keinginan semakin kuat manakala entah kenapa saya berpikiran bahwa menjadi guru akan sangat membosankan, statis karena setiap tahun mengajarkan hal yang sama kepada murid, sehingga tak diperlukan belajar. 
 
Keinginan menjadi dokter saya sampaikan kepada ayah dan ditolak dengan alasan beliau tak akan sanggup membiayai. Informasi mengenai beasiswa pun tak saya dapatkan saat itu. Internet baru saya kenal saat SMA. Ayah menyarankan saya untuk mengambil keguruan saja, biayanya murah universitasnya juga tidak terlalu jauh dari rumah dan cocok sekali untuk perempuan karena jam dua belas biasanya sudah pulang sehingga tetap bisa mengurus rumah (:)). Ayah menyarankan untuk mengambil pendidikan biologi agar sedikit nyambung dengan keinginan saat kecil menjadi insinyur pertanian dan juga kedokteran. 
 
Saya memilih mengikuti keinginan ayah, kapan lagi menyenangkan orang tua terlebih menjadi guru adalah cita-cita ayah saat kecil. Setelah yakin untuk mengambil keguruan, setiap gerak-gerik guru saya perhatikan untuk bekal saya di kemudian hari. Sempat seorang guru mengatakan, “Jangan jadi guru, gajinya kecil!” soal gaji saya kan perempuan berarti bukan yang utama pikir saya saat itu. Yang membuat saya galau adalah ketakutan akan kebosanan karena jumud tak berkembang toh guru mengajar itu-itu juga tiap tahunnya. 
 
Setelah menjadi guru, meski ternyata seringkali pulang sore bukannya jam dua belas saya sangat menikmati jalan ini. Meski demikian, saya sering galau tapi bukan karena ketidaksukaan saya terhadap profesi ini melainkan karena kecintaan saya yang sangat besar terhadap aktivitas menjadi guru. Siapa bilang guru itu statis, setiap tahun siswa berganti bahkan setiap hari masuk ke kelas yang berbeda-beda. 
 
Membosankan? Tentu saja tidak, hari-hari penuh dengan bahagia dan tawa meski terkadang air mata. Perlu selalu belajar untuk mengasah diri agar dapat bertindak tepat saat bertemu para siswa. Tak perlu belajar? Ah, kenyataannya tak begitu. Materi subjek yang kita ampu berkembang setiap saat maka jika tak belajar tentu saja akan ketinggalan zaman tentunya guru takkan rela membiarkan para siswa tertinggal di saat arus perkembangan zaman kian derasnya. Yang tak kalah pentingnya adalah cara mengajar. Kelas yang satu dengan kelas yang lainnya sering berbeda. Pernah di suatu kelas saya kebingungan untuk menunjuk siswa yang mana karena seluruh siswa mengacungkan tangan , di kelas yang lain kebingungan juga menunjuk karena tak ada satu pun yang mengangkat tangan. Kelas berbeda perlu strategi berbeda belum lagi siswa berbeda perlu penanganan berbeda pula maka guru harus senantiasa belajar cara mengajar. Saya adalah orang yang percaya bahwa setiap anak memiliki kecerdasan meski berbeda-beda bidangnya. Tugas guru adalah memfasilitasi siswa menemukan potensi uniknya. Saya tak menuntut setiap siswa harus memperoleh nilai sempurna dalam mata pelajaran saya tapi tetap menetapkan standar tertentu. Saat siswa tak dapat mencapainya terkadang saya merasa sedih, siswa mengalami kesulitan belajar jangan-jangan karena saya gurunya tak bisa menyesuaikan cara mengajar saya dengan gaya belajarnya. Aseli…. Saya takut mengindap penyakit yang disebut Amstrong PhD seperti dikutip Munif Chatib dalam bukunya “Sekolahnya Manusia” DISTEACHIA yaitu salah mengajar. Kepada anda yang masih berpikir untuk menjadi guru saya sarankan JANGAN JADI GURU jika tak mau terus belajar.

Selasa, 09 Februari 2016

Dr. Michael C. Ain (Kekurangan Melahirkan Kelebihan)

Setiap orang terlahir dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Banyak orang yang bahagia dan bersyukur atas kelebihannya kemudian mengoptimalkan kelebihannya untuk berkontribusi dalam kehidupan meski tak sedikit pula orang yang tak menyadari kelebihan yang dimilikinya sehingga dibiarkan tersia. Ada juga orang yang menjadi pongah atas kelebihan yang dimilikinya.

Dalam menyikapi kekurangan ternyata orang berbeda-beda pula. Ada orang yang sedih berlebihan atas kekurangan yang dimilikinya, menyalahkan takdir bahkan tak sedikit yang merasa rendah diri sehingga memutuskan untuk diam tak mau berkiprah untuk kesejahteraan manusia. Namun tak demikian halnya dengan Dr. Michael Craig Ain. Terlahir sebagai penderita Akandroplasia (suatu kelainan genetik terpaut kromosom  yang menyebabkan tubuhnya kerdil) tak membuat langkahnya surut untuk berkiprah. 

Sejak kecil Ain diajarkan oleh kedua orang tuanya untuk bekerja keras. Tak ada yang tak bisa ia capai jika bekerja keras. Pada saat gagal mencapai sesuatu jawabannya hanya satu: bekerja lebih keras lagi. Maka tak heran Ain mendapatkan nilai-nilai cemerlang di bangku sekolah. Namun, perjalanannya tak selalu berjalan mulus. Saat mendaftar kuliah kedokteran ia ditolak oleh sekitar tiga puluh universitas bukan karena kemampuannya namun hanya karena ia bertubuh setinggi 4 kaki 3 inchi atau sekitar 130 cm. Ia beristirahat selama satu tahun dengan mempelajari Sains di Brown kemudian kembali mendaftar sekolah kedokteran kembali dan diterima oleh Albany Medical College. Pada awalnya ia hanya diperbolehkan menggeluti pediatri (kedokteran anak) yang memungkinkan pasiennya tidak lebih besar dari padanya. Kegigihannya telah mengantarkan dirinya menjadi seorang ahli bedah meski tak jarang ia harus naik bangku saat melakukan operasi. Meski demikian, ia adalah seorang dokter yang disenangi pasiennya terutama anak-anak.
Foto: Campbell Biology Concepts and Connections

Kelainan gen telah menghentikan pertumbuhan lengan dan kakinya tapi tidak langkahnya untuk menggapai cita-cita. Kini ia bekerja sebagai dokter bedah ortopedi di Johns Hopkins Hospital  juga sebagai Associate Professor of Orthopedic Surgery dan Associate Professor Neurosurgery di Johns Hopkins  School of Medicine. Akrandroplasia nampaknya telah mengantarkan Ain pada bidang penelitian dysplasia, suatu kelainan tulang yang menyebabkan kekerdilan. Profil Dr. Ain dapat dilihat disini.

Selasa, 02 Februari 2016

Kelainan Terpaut Autosom Pada Manusia

Berikut merupakan kelainan pada manusia yang terpaut autosom:

Kelainan Terpaut Autosom Resesif 
  1. Albinisme. Ditandai dengan tidak adanya pigmen pada kulit, rambut, dan mata. Terdapat 1 penderita tiap 22.000. Penderita cenderung mudah terkena kanker kulit.
  2. Fibrosis Sistik. Ditandai dengan produksi mucus (lendir) yang berlebih pada paru-paru, saluran pencernaan, dan hati, suseptibilitas terhadap infeksi meningkat. Bila tidak ditangani sering menimbulkan kematian saat anak-anak. Satu  dari 2.500 orang ras kaukasia dilaporkan mengalami kelainan ini.
  3. Galaktosemia. Ditandai dengan akumulasi galaktosa pada jaringan, keterbelakangan mental serta kerusakan pada mata dan hati. Insiden terjadi sebanyak 1/100.000. Biasanya ditangani dengan pengurangan galaktosa dalam diet.
  4. Fenilketonuria (PKU). Ditandai dengan akumulasi fenilalanin dalam darah,pigmen kulit tidak normal dan keterbelakangan mental. Satu dari 10.000 orang di Amerika Serikat dan Eropa mengalami kelainan ini.
  5. Sickle-Cell. Sel darah merah berbentuk sabit, terjadi kerusakan beberapa organ. Dilaporkan terjadi pada satu dari empat ratus orang Afro-Amerika.
  6. Tay-Sach. Ditandai dengan akumulasi lemak pada sel-sel otak, keterbelakangan mental, kebutaan dan terjadi kematian di masa kecil. Dilaporkan satu dari 3.500 yahudi di Eropa tengah mengalami kelainan ini
Kelainan Terpaut Autosom Dominan
  1. Akondroplasia. Ditandai dengan tubuh yang kerdil. Insiden terjadi pada satu dari dua puluh lima ribu orang.
  2. Alzeimer (salah satu tipe). Ditandai dengan penurunan mental dan sering terjadi menjelang usia lanjut. Tipe Alzeimer yang diturunkan ini merupakan tipe Alzeimer yang jarang terjadi.
  3. Huntington. Ditandai dengan penurunan mental dan gerakan yang tidak terkontrol. Sering terjadi pada usia medium. Satu dari 25.000 orang mengalami penyakit ini. 
  4. Hiperkolesterolemia. Ditandai dengan berlebihnya kolesterol dalam darah dan bisa mengakibatkan serangan jantung. Insiden penyakit ini adalah sekitar 1/500.
Sumber :
Reece, Jane B, et all. 2012. Campbell Biology Concept and Conection Seventh Edition. Benjamin Cuming, San Francisco.