Selasa, 07 Juni 2016

Distrust Culture

Ada kejadian yang membuat malu saat beberapa waktu lalu saya bersama seorang teman mengajak dua orang volunteer asal Amerika berkunjung ke sebuah objek wisata. Di tempat tersebut terdapat toko oleh-oleh. Tamu kami, volunteer asal California bermaksud membeli gelang untuk pacarnya. Singkat cerita dia membayarnya dikasir seharga tiga puluh ribu rupiah. Sambil menunggu saya yang sedang memilih-milih barang, rupanya dia tertarik dengan barang lain seharga lima puluh ribu rupiah. Ia pun menghampiri kasir kemudian menjelaskan bahwa ia ingin menukar barangnya. Sang kasir terdiam, kemudian saya jelaskan bahwa teman saya tersebut ingin mengembalikan barang yang tadi dan mengganti dengan yang baru dan tentu saja akan membayar kekurangannya. Tapi ternyata tidak bisa, kalau dia mau yang baru berarti dia harus membeli keduanya. Ia bertanya lagi kepada saya dan saya tanya lagi kasir, "SUDAH ATURANNYA BEGITU" kata sang kasir. Entah memang begitu atau kasir tak mau repot cancel transaksi. Akhirnya ia tak jadi membeli barang baru tersebut sambil berucap "Strange rule!". Nampaknya dia kecewa namun saya tak bisa berucap apa-apa lagi. Untunglah dia terhibur dengan panorama alam objek wisata tersebut.

Sebulan sudah berlalu namun kejadian itu masih saja terekam di kepala. Aturan yang menurut teman tersebut aneh, kok rasanya terasa biasa bagi saya. "Barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan" rasanya adalah hal yang lumrah saya temui. Hari ini saya tebak jawabannya. Dasar dari transaksi kita adalah budaya tidak percaya (distrust culture), menaruh curiga lebih dulu. Pedagang khawatir jika pembeli mengembalikan barang, barang tersebut telah "diapa-apakan"  oleh sang pembeli. Memang mungkin ada pula pembeli yang nakal melakukan itu. Tapi, dalam kasus teman saya, barang yang dibeli baru beberapa menit saja. Pantas saja dia mengatakan aneh karena ternyata di negaranya jika seseorang membeli barang dan esoknya dikembalikan dengan alasan tidak suka itu bisa. Pedagang dan pembeli keduanya saling percaya.

Nampaknya rasa saling percaya perlu dibudayakan dalam masyarakat kita. Tidak mudah memang membangun trust culture ini di tengah maraknya kasus-kasus penipuan dalam dunia jual beli semisal yang terjadi dalam sebagian jual-beli online dimana penjual menipu dengan tidak mengirim barang atau pembeli tidak membayar atau sekedar iseng saat memesan barang COD meski banyak juga ya penjual maupun pembeli yang jujur :). Ya, membangun trust culture memang tidak mudah namun masing-masing kita bisa melakukannya saat kita bertransaksi dengan berupaya menjaga kepercayaan yang diberikan orang kepada kita. Mari bangun trust culture agar Indonesia yang indah ini semaaakin indah.