Jumat, 09 September 2016

Boikot Wisata Pangandaran

Ada banyak cerita tentang masa-masa sekolah yang masih tersimpan di kepala, salah satunya tentang wisata ke Pangandaran. Saat itu saya duduk di penghujung kelas tiga. Tepatnya tinggal beberapa minggu meninggalkan sekolah, melepas seragam putih abu. Yeay... siap-siap jadi orang dewasa. (Padahal kalau bisa kembali, saya mau lho...balik lagi jadi remaja atau bahkan anak-anak :) )

Seperti umumnya di banyak sekolah, setelah selesai ujian akhir dan pengumuman kelulusan biasanya diadakan acara pelepasan, yaaa... biasanya pesta kecil gitu tapi cukup meriah dan berkesan. Naaah... saat itu acara perpisahan direncanakan akan dilaksanakan di Pangandaran. Ya, sekalian berwisata. Kegiatannya sendiri dirancang oleh para guru dan OSIS. Saya sendiri kurang tahu, selain karena pengurus OSIS itu kelas 2, saya pun tidak menjadi pengurus OSIS di SMA. Bagi saya saat itu, menjadi pengurus ROHIS, KIR, Keputerian sekolah plus karang taruna di rumah sudah cukup menguras tenaga.

Kembali lagi soal Pangandaran. Biaya untuk pergi ke Pangandaran belum tercakup dalam SPP sehingga para siswa memang harus mengeluarkan dana lebih. Mendengar kata pantai, sebenarnya saya sebagai orang gunung cukup antusias. Hanya saja dari obrolan beberapa teman ROHIS, tidak ikut mungkin lebih baik. Ada beberapa alasan, diantaranya berempati kepada teman-teman yang tidak bisa membayar. Semacam solidaritas gitu lah. Selain itu ada juga kabar dari beberapa alumni bahwa acara seperti itu lebih banyak hura-huranya bahkan tak sedikit perempuan berjilbab baik siswa maupun guru tak malu lepas jilbab disana. Saat itu saya dan teman-teman menilai tak banyak manfaatnya. Demi sebuah idealisme saya rela enggak ikut piknik waktu itu hihi....

Entah bagaimana ceritanya, kabar bahwa anak-anak ROHIS akan memboikot acara perpisahan di Pangandaran sampai ke telinga para guru. Buntutnya saya bersama para mantan pengurus inti ROHIS dipanggil guru agama. Beliau menanyakan ihwal pemboikotan. Bukan pemboikotan sebenarnya, kami hanya berencana tidak ikut, namun karena setiap kami punya banyak teman sehingga kemungkinan teman-teman kami pun mengikuti langkah kami.

Masih terngiang di telinga saya saat Bu Guru bertanya, "Apa kalian pikir kita pergi ke sana hanya sekedar hura-hura? enggak... di sana kita bisa melakukan tadabur alam" "Kalian ini ikut aliran apa sih?" Aliran? hanya aliran darah yang saat itu selalu ada dalam tubuh kami. Saya utarakan kekhawatiran-kekhawatiran yang menggelayuti pikiran kami. Bu Guru meyakinkan bahwa hal-hal yang kami takutkan akan diupayakan dieliminasi. Bahkan, katanya hasil rapat para guru saya harus menyampaikan pidato perpisahan perwakilan siswa dalam acara tersebut. Maka, bagaimana pun saya harus ikut.

Demi menghormati para guru dan sekolah, akhirnya diputuskan bagi siapa saja yang bisa berangkat sebaiknya berangkat namun bagi yang terkendala biaya tak usah memaksakan.  Kalaupun ada hal-hal seperti yang dikhawatirkan, jangan sampai terbawa. Bukankah perahu tenggelam bukan karena air di lautan melainkan ada air yang merembes ke dalam perahu yang bocor?

Akhirnya, hari keberangkatan pun tiba. Karena sebelum pukul enam harus sudah berkumpul di sekolah, ba'da shubuh saya berangkat menggunakan angkot hingga perempatan jalan menuju sekolah disambung ojeg menuju sekolah. Sekitar sepuluh meter menuju gerbang sekolah, di jalan yang datar saya terjatuh dari ojeg. Antara sadar dan tidak sadar saya mendengar suara seorang guru dan tangis sahabat saya, "Pokoknya saya gak ikut kalau Nurul gak ikut". Tak banyak yang saya ingat di hari itu, selain akhirnya saya di bawa oleh Bapak (Alm.) ke Rumah Sakit untuk diperiksa dan foto rontgent kepala. Alhamdulillah... tak ada luka yang cukup serius, tangan dan kaki aman meski pakaian robek. Yang agak serius luka di pipi dan kepala padahal saat itu saya mengenakan kerudung cukup tebal. 
Ah...Pangandaran. Saat itu mungkin kita belum berjodoh...

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan  #1minggu1cerita dengan tema "Aku dan Sekolahku"