Sabtu, 31 Desember 2016

MENIKMATI ALAM : GRATISKAH?

Bergeraklah!
Berlarilah!
Menikmati alam yang indah
Sebelum semua harus ditebus dengan rupiah

Hiruplah udara dalam-dalam
Biarkan ia mengalir pelan-pelan
Dan raga pun kan menyatu dengan alam
Bukankah setiap sel adalah bagian kefanaan?

Mari! Mari mendaki
Menginjakkan kaki di dataran tinggi
Sebelum cuma-cuma tak berlaku lagi
Karena gunung pun ada yang memiliki

(Lembang, penghujung 2016)

Senin, 12 Desember 2016

Komunikasi Tanpa Kekerasan

Semakin usia bertambah, rasanya saya semakin bawel saja. "Mumtaaaaz.... Bereskan mainannya!" adalah teriakan yang sering terdengar setiap harinya. Suatu ketika, pagi hari sebelum berangkat sekolah tatkala semua sudah siap anak saya dengan santai menenteng sepatu yang akan dipakainya dan saya perhatikan tanpa kaos kaki lalu ketika dicari dalam rak sepatu terdapat sembilan belah kaos kaki tanpa pasangannya. Mulailah saya berpidato, " Kamu kebiasaan kalau nyimpen kaos kaki selalu sembarangan" "Kata siapa Bun Selalu? hari senin aku bener nyimpen kaos kaki di tempatnya. Tenang Bun, ada tiga pasang di kolong bangku di mejaku di sekolah, nanti aku bawa pulang" ditimpali begitu tak tahan rasanya melanjutkan ceramah yang kemudian melebar kesana kemari yang berakhir dengan ekspresi cemberut jagoanku. Duuuh... sedih rasanya, kenapa berakhir begini, padahal yang aku inginkan sebenarnya sederhana "jagoanku menyimpan kaos kaki pada tempatnya". 

Setiap hari kita berkomunikasi dengan orang di sekeliling kita, namun terkadang berakhir buruk. Menurut seorang ahli psikologi Marshall B. Rosenberg, PhD dalam buku NONVIOLENT COMMUNICATION A Language of Life, hal tersebut terjadi karena kita menggunakan gaya komunikasi "Life-Alienating Communication" sebuah gaya komunikasi yang bukannya membangun jembatan malah tembok penghalang antara kita dengan orang yang diajak bicara. Tembok tersebut terbentuk karena kita menggunakan KATA-KATA YANG BERSIFAT MENGHAKIMI ataupun PENGHAKIMAN MORAL. Mengeluarkan kata-kata menghakimi akan menyebabkan orang yang diajak bicara bersikap depensif padahal pesan kita belum tersampaikan. Sedangkan penghakiman moral yaitu menganggap salah orang yang memiliki sistem nilai yang berbeda dengan kita akan menyebabkan hubungan yang semakin renggang.

Komunikasi seharusnya membuat orang yang berkomunikasi saling mengerti akan pesan yang disampaikan. Agar tujuan tersebut terwujud dan hubungan tetap terjaga maka pola komunikasi "NONVIOLENT COMMUNICATION" (NVC) adalah salah satu jalan. Terdapat empat tahapan dalam menjalankan NVC yaitu observasi, identifikasi perasaan, identifikasi kebutuhan dan permintaan yang jelas.
1. Observasi
Pada tahapan ini kita harus berupaya sadar dengan kondisi yang terjadi dan menggunakan seluruh indera termasuk mendengar pendapat orang tentang kondisi yang diobservasi. Pada  tahap ini membuat GENERALISASI adalah sesuatu yang harus dihindari. Daripada mengatakan "Kamu selalu menyimpan kaos kaki sembarangan" lebih baik mengatakan "Kaos kaki yang kamu pakai kemarin tidak disimpan pada tempatnya". Berusaha SPESIFIK adalah sebuah langkah agar tidak terjebak ke dalam generalisasi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah berhati-hati terhadap pelabelan termasuk label yang berkaitan dengan konsepsi awal tentang seseorang atau sesuatu terlebih label negatif karena dapat membuat barier dalam berkomunikasi.
2. Identifikasi Perasaaan
Langkah selanjutnya adalah mengindentifikasi perasaan kita terhadap kondisi yang diobservasi. Cari kata-kata yang benar-benar spesifik yang menjelaskan perasaaan kita.
3. Identifikasi Kebutuhan Kita
Berikutnya, apa sih yang kita ingin atas kondisi yang terjadi? Misal, saat Si Kecil membuat ruangan berantakan dengan mainannya kita menginginkan ruangan kembali rapi.
4. Nyatakan permintaan dengan jelas
Setelah kita yakin dengan apa yang sebenarnya kita inginkan, nyatakan PERMINTAAN kita kepada lawan bicara kita dengan JELAS menggunakan BAHASA POSITIF bukan bahasa negatif. Bahasa positif berupa meminta seseorang melakukan sesuatu berkebalikan dengan bahasa negatif yang menyuruh orang untuk berhenti melakukan sesuatu. Rosenberg memberi contoh tentang seorang suami yang merasa kesal karena isterinya sering pulang terlambat dari tempat kerjanya. Sang suami berkata kepada istrinya, "Kayaknya kamu bekerja terlalu keras, sudahlah jangan terlalu capek". Sang isteri menangkap pesan "Jangan bekerja terlalu keras" ia kemudian berencana pergi untuk pergi refreshing. Yang diinginkan oleh suaminya sebenarnya bukan Sang Isteri pergi refreshing melainkan sang isteri mengalokasikan waktu untuk menghabiskan waktu bersama keluarga.

Dengan menerapkan NVC teriakan "Beresin mainannya!" bisa diganti dengan "Nak, Bunda pusing kalau melihat ruangan berantakan. Agar ruangan tetap rapi bisakah kamu merapikan mainan setelah selesai bermain?". Untuk kasus kaos kaki, "Bunda kerepotan kalau harus mencari kaos kaki yang tak jelas disimpan di mana. Mulai besok, bisakah kamu menyimpan kaos kaki pada tempatnya? hari ini maaf kalau kamu tak pakai kaos kaki".

Andai saja saya menerapkan NVC saat berbicara dengan anak saya waktu itu, mungkin tak akan ada yang tersakiti. Tapi, sudahlah! bukankah hidup ini adalah sebuah proses untuk terus belajar, belajar dan belajar. NVC bukan saja cara berkomunikasi seorang ibu kepada anaknya melainkan cara berkomunikasi kepada siapapun kapanpun dimanapun. NVC melatih kita berpikir sebelum bicara. Dengan menerapkan NVC maka kita akan terhindar dari bahaya yang diakibatkan oleh lisan kita.

Lembang, Selasa 13 Desember 2016 01.47
Maafkan Bunda Nak