Sabtu, 24 November 2018

Lelaki Kecilku Galau

Kuusap punggung lelaki kecilku. Raut wajahnya tak biasa. Mendung masih menggantung pada muka lelaki sepuluh tahun itu. “Ayo tidur Nak, supaya bisa bangun shubuh” ucapku. “Gak bisa tidur Bun" katanya sambil membalikkan badan. Biasanya baca sebentar, tak lama kemudian ia akan tertidur pulas.
Ada yang berbeda di malam itu. Sejenak pandangannya tertuju pada piala O2SN tahun kemarin. “Duh, renang" bisiknya lirih. “Kamu masih gak ikhlas melepas lomba renang?” tanyaku. “Bukan begitu Bun” jawabnya pendek. “Tadi Bu Guru WA Bunda, katanya kamu pilih gak ikut lomba renang” hati-hati kulontarkan kalimat itu. Kegalauan sempat hinggap juga di hatiku siang tadi sebenarnya. Bu guru mengabarkan bahwa lomba siswa berprestasi jadwalnya berbarengan dengan O2SN renang. Sebenarnya hatiku lebih galau lagi menyaksikan lelaki kesayangan kehilangan senyumnya. Ibu mana yang tega melihat buah hatinya berduka.


Aku sebenarnya tak pernah memaksa anakku untuk ikut berlomba, namun kepercayaan sekolah telah diamanatkan pada lelaki yang terlahir dari rahimku itu. Sayangnya dua amanat dalam satu waktu tak mungkin dilaksanakan bersamaan. Mungkin ini momen yang tepat bagi anakku untuk memilih. “Iya, aku bilang pilih ikut lomba berprestasi. Sebenarnya aku lebih suka lomba renang” kata-kata mengalir dari mulut mungilnya. Binar di matanya masih saja bersembunyi entah di mana. “Tapi aku kasihan sama Bu Guru, udah ngajarin aku buat ikut siswa berprestasi,” sambungnya. “Kamu harus ridho dengan pilihanmu. Kalau hatimu belum lega, Bunda bisa bilang Bu Guru kalau kamu berubah pikiran” jelasku. “Jangan Bun!” pintanya. “Kalau gitu ikhlaskan, Bunda tahu kamu sudah berlatih renang tiap pekan, dan sekarang kamu korbankan untuk lomba yang lain yang mungkin jarang sekali kesempatannya. Semoga pengorbanan kamu berbuah keberkahan. Kalau kamu senang lomba renang, insya Allah nanti Bunda carikan, bahkan kalau lombanya di luar kota insya Allah bunda antar" hiburku. Akhirnya si anak semata wayang tertidur lelap.
Kuusap punggung lelaki kecilku. Raut wajahnya tak biasa. Mendung masih menggantung pada muka lelaki sepuluh tahun itu. “Ayo tidur Nak, supaya bisa bangun shubuh” ucapku. “Gak bisa tidur Bun" katanya sambil membalikkan badan. Biasanya baca sebentar, tak lama kemudian ia akan tertidur pulas.
Ada yang berbeda di malam itu. Sejenak pandangannya tertuju pada piala O2SN tahun kemarin. “Duh, renang" bisiknya lirih. “Kamu masih gak ikhlas melepas lomba renang?” tanyaku. “Bukan begitu Bun” jawabnya pendek. “Tadi Bu Guru WA Bunda, katanya kamu pilih gak ikut lomba renang” hati-hati kulontarkan kalimat itu. Kegalauan sempat hinggap juga di hatiku siang tadi sebenarnya. Bu guru mengabarkan bahwa lomba siswa berprestasi jadwalnya berbarengan dengan O2SN renang. Sebenarnya hatiku lebih galau lagi menyaksikan lelaki kesayangan kehilangan senyumnya. Ibu mana yang tega melihat buah hatinya berduka.

Aku sebenarnya tak pernah memaksa anakku untuk ikut berlomba, namun kepercayaan sekolah telah diamanatkan pada lelaki yang terlahir dari rahimku itu. Sayangnya dua amanat dalam satu waktu tak mungkin dilaksanakan bersamaan. Mungkin ini momen yang tepat bagi anakku untuk memilih. “Iya, aku bilang pilih ikut lomba berprestasi. Sebenarnya aku lebih suka lomba renang” kata-kata mengalir dari mulut mungilnya. Binar di matanya masih saja bersembunyi entah di mana. “Tapi aku kasihan sama Bu Guru, udah ngajarin aku buat ikut siswa berprestasi,” sambungnya. “Kamu harus ridho dengan pilihanmu. Kalau hatimu belum lega, Bunda bisa bilang Bu Guru kalau kamu berubah pikiran” jelasku. “Jangan Bun!” pintanya. “Kalau gitu ikhlaskan, Bunda tahu kamu sudah berlatih renang tiap pekan, dan sekarang kamu korbankan untuk lomba yang lain yang mungkin jarang sekali kesempatannya. Semoga pengorbanan kamu berbuah keberkahan. Kalau kamu senang lomba renang, insya Allah nanti Bunda carikan, bahkan kalau lombanya di luar kota insya Allah bunda antar" hiburku. Akhirnya si anak semata wayang tertidur lelap.

Minggu, 06 Mei 2018

Bukan Tersesat

Minggu 06 Mei 2018 adalah hari terakhir kami berasyik masyuk dengan Mekah Almukaromah karena besok dini hari harus sudah bersiap-siap check out. Ada rasa berat di hati laksana berpisah dengan kekasih. Saat sarapan pagi terlintas dalam pikiran ingin lebih mengeksplor lagi Masjid Al Haram. Semoga saja Allah takdirkan kembali suatu saat.

Meski berangkat bersama dengan suami, karena tempat sholat kami terpisah kami bersepakat untuk menjadikan ATM Rajhi Bank di depan pintu exit 1 sebagai meeting point. Usai dzuhur di lantai 4 aku sedikit berjalan mencari spot untuk memotret kertas bertuliskan beberapa kalimat untuk oleh-oleh. Sayangnya pencahayaan kurang pas,  sehingga aku urung memotret, maka kuputuskan untuk segera turun menuju tempat janjian. Eskalator tempat tadi naik tidak kutemukan. Sudahlah yang penting turun saja, nanti juga kalau sudah di luar gampang.

Saat keluar,  suasana terlihat asing, wajah melayu tak kutemui. Kuikuti langkah orang-orang di sekitar seperti daun yang jatuh di aliran sungai. Aku baru tersadar bahwa aku telah jauh dari meeting point saat di hadapanku terlihat sebuah bukit gersang dengan beberapa buah bangunan. Kubuka pesan WA, "Bun, di mana?". "Entah dimana, tapi tunggu saja!" sebuah jawaban absurd bukan? Aku bukan tersesat, aku hanya butuh waktu lebih mencari jalan pulang.
Sambil memotret beberapa spot menarik, kuputuskan mencari askar. Tak terpikir sedikit pun untuk membuka Google Map. Hahaha...memangnya bisa ya pakai Google Map di sini?

Tiba di Gate Al Arqam dua orang Askar berseragam ala tentara dan dua orang bersorban ala pangeran Arab tengah berjaga. Kuhampiri salah satunya,  "Assalamu'alaikum...I think I'm getting lost". Sang Askar mengangkat bahu dan tangan sembari memiringkan kepala."How do I get to eighty eight Gate?" tanyaku penuh harap. "Eighty eight?" tanyanya. Aku mengangguk, mataku berbinar berharap sang askar menunjukkan jalan. Akan tetapi bukannya arah yang ia tunjukkan, malah smart phone miliknya yang ia tunjuk dengan jarinya. Duh, apa maksudnya? Kucoba terka makna isyarat telunjuknya. Kubuka hand phone, kutuliskan angka 88 dan kutunjukkan padanya. Ia manggut-manggut, lalu menunjukkan arah dengan lengan kanannya.

Kulangkahkan kaki sesuai Arah yang ditunjukkan askar. Setelah melewati tempat funeral praying dari kejauhan kulihat depot air dekat pintu keluar satu, jalan yang belakangan ini kulalui menuju ataupun meninggalkan masjid. Alhamdulillah... Aku bukan tersesat, hanya sedikit berkesempatan menginjakkan kaki di beberapa tempat yang belum aku singgahi di sekitar Masjidil Haram.

Jumat, 13 April 2018

KENAPA ZERO WASTE LIFESTYLE?

Prof. (Em.) Paul O'Connet pernah bercerita dalam sebuah kesempatan. Suatu ketika bak kamar mandi seorang pria hampir penuh. Ia kemudian menciduk air dengan gayung untuk membuangnya. Air masih saja penuh, bahkan hampir luber. Ia kemudian menggunakan ember untuk membuang kelebihan air. Ember tak cukup, ia kemudian menggunakan mesin penyedot air. Tak lama kemudian, istrinya datang. Melihat suaminya sibuk, si isteri hanya melangkah mendekati bak kemudian mematikan kran air. Bak berhenti meluap, sang isteri telah memecahkan permasalahan dari akarnya.

Ilustrasi di atas mirip dengan kondisi sampah saat ini. Sekeras apapun upaya membuang sampah, sejatinya tak akan menyelesaikan permasalahan sampah. Sekadar membuang hanya memindahkan masalah. Oleh sebab itu, penutupan kran adalah solusinya. Bagaimana menutupnya? Tak semudah menutup kran air tentunya, kran satu ini agak macet memang,  tapi bisa diusahakan. Zero waste lifestyle adalah salah satu upaya tersebut. Bagaimana memulainya? Saya akan bercerita lain waktu. Kamu punya cerita seputar zero waste? Yuk, tulis di kolom komentar!

AKHIRNYA DISUNTIK JUGA

"Yah, nanti pas bunda disuntik tolong video ya!” ucap Si Kecil sambil mengerling ke  arahku. Dulu  aku membujuknya habis-habisan agar mau disuntik saat ada program vaksinasi di sekolah. Tahu  bahwa ibunya harus divaksin, ia seperti balas dendam. Ia seperti tahu jauh di kedalaman hati, sebenarnya aku juga takut ketemu jarum suntik. Ah, sungguh memalukan.  Dulu sebenarnya aku pernah bercita-cita menjadi dokter namun urung mendaftar ke jurusan kedokteran karena orang tua keberatan. Untung saja tak jadi, masa iya dokter takut jarum suntik.

Selasa 27 Maret kebetulan tak ada jadwal. Aku dan suami memutuskan untuk vaksinasi hari itu. Degdegan sih sebetulnya, tapi sekarang atau nanti tetap akan disuntik bukan? Berdasarkan informasi dari teman, vaksinasi meningitis dapat diperoleh di Rumah Sakit Pelabuhan. Di  Bandung kabarnya berlokasi di Jalan Cikapayang. Kucari lokasi Rumah Sakit Pelabuhan dalam Googlemap ternyata tak ditemukan. Tiba di Jalan Cikapayang,kami bertanya kepada petugas kebersihan jalan. Ternyata benar ada, namun bukan rumah sakit melainkan Kantor Kesehatan Pelabuhan.

Tiba di KKP, kami pun melakukan pendaftaran online menggunakan komputer yang disediakan. Fotokopi passport dan foto 4x6 yang kami siapkan ternyata tak diminta. Setelah mengisi data seperti nama, nomor passport dan sebagainya, kuambil foto didepan komputer dengan mengklik tombol “nyalakan kamera” dan ”ambil gambar”. Kertas nomor antrian kemudian keluar otomatis.

Kami kemudian menuju lantai  2. Aku sedikit gugup saat dipanggil dan disuruh memasukkan lengan kanan ke dalam tensimeter otomatis. Aku pikir, alat suntik sekarang sudah berubah. Hahaha….begitulah kalau sudah fobia jarum suntik. Di loket itu sebenarnya hanya dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan pengecekan kesehatan secara umum. Dari loket itu, selanjutnya aku menuju loket pembayaran. Biaya yang harus dibayarkan adalah tiga ratus lima ribu rupiah. Ada biaya tambahan dua piluh lima ribu bagi wanita usia subur untuk kit pemeriksaan kehamilan.

Usai membayar, aku diarahkan menuju ruang suntik, laki dan perempuan terpisah. Sebelum disuntik, aku diminta melakukan tes urin sendiri di toilet yang disediakan. Hasilnya diperlihatkan kepada petugas. Langkah-langkah tes dipampang jelas di dinding toilet, namun masih saja ada yang salah misalnya urin malah dibawa ke meja petugas. Duh, bagaimana kalau tumpah? Sebagian orang ada juga yang membuang wadah berisi urin langsung ke dalam tong sampah tanpa membuang urinnya terlebih dahulu ke dalam kloset, sehingga tempat sampah menjadi basah dan berbau.

Akhirnya tiba giliranku disuntik. Kuarahkan pandangan ke jendela dengan maksud mengalihkan konsentrasi. Tiba-tiba rasa digigit semut menyapa lengan atasku, tak lebih dari satu detik rasanya. Setelahnya, ada sedikit rasa pegal. Ah, ternyata jarum suntik tak sampai menelanku. Yes, akhirnya aku disuntik dan rasanya tak seseram yang dibayangkan. Keluar dari ruang suntik kuserahkan bukti suntik dan bukti pembayaran ke loket terakhir untuk ditukar dengan buku bukti vaksinasi. Oya, kalau mau divaksin sebaiknya kenakan pakaian dengan lengan longgar atau baju bukaan depan untuk memudahkan.

MULAI DARI YANG KECIL

Bahagia itu sederhana, bisa berkumpul dengan tetangga meski belum semua. Hari minggu semua rela meluangkan waktu,  demi apa? Demi bersama-sama menjaga lingkungan. Hmm... Kali ini pertama kalinya Euceu presentasi dalam bahasa sunda,  padahal memang orang sunda.

Terima kasih tak terhingga kepada Pak RW,  para RT,  tokoh masyarakat juga ibu-ibu PKK. Ibu-ibu pada semangat mau lanjut praktek bikin kompos setelah tahu betapa berbahayanya bila sampah organik dan anorganik bercampur.

Ah... Gembira hati ini melihat antusiasme mereka. Hihi... Lebay ya Euceu? Tapi,  begitulah... Da aku mah apa atuh, belum bisa ngurus yang besar-besar. Sedikit melakukan hal kecil juga sudah bahagia.

#PelatihanManajemenSampahRumahTangga
#ThinkGloballyActLocally
#JourneyToZerowaste
#MenujuIndonesiaBebasSampah2030

Kamis, 22 Maret 2018

FUROSHIKI

FUROSHIKI

Baru belakangan ini saya mengenal istilah "furoshiki" gara-gara follow akun "zerowaste.japan". Nah,  furoshiki ini adalah selembar kain, menurut saya sih mirip sapu tangan hanya saja lebih lebar. Furoshiki ini biasa digunakan sebagai pembungkus bekal atau bento. Sebagian orang kadang menggunakannya sebagai syal maupun pembungkus hadiah. Hmm... multifungsi ya?

Kalau diingat-ingat, dahulu orang Sunda juga sering menggunakan kain sebagai pembungkus yang dikenal dengan "gembolan". Sarung, taplak, serbet atau sapu tangan bisa dijadikan gembolan. Sayangnya, sekarang sudah relatif jarang digunakan. Kantung plastik sekali pakai lebih banyak dipilih karena alasan kepraktisan, padahal proses yang terjadi setelah kantung plastik menjadi sampah sungguh jauh dari kata praktis.

Oya, saya mencoba memakai furoshiki ala Indonesia. Saya membalut bekal buah dengan serbet yang saya buat dari kain perca. Asyik juga ternyata, tinggal ikat lalu masukkan ke dalam tas. Saat isinya habis kain tadi tinggal dilipat, dimasukkan ke dalam tas dan bisa dipakai ulang. Bagi saya,  bahagia itu sederhana, bisa mengurangi sampah meski sedikit saja.

Menurut seorang seorang teman, furoshiki bervariasi harganya, mulai dari 15 ribu jika dirupiahkan, hingga ratusan ribu rupiah. Jika ingin menggunakan furoshiki untuk keperluan membungkus tak harus merogoh kocek sebenarnya, asal kita mau menjahit. Kainnya bisa minta kain perca dari penjahit atau gunakan saja pakaian lama tak terpakai seperti kerudung lama misalnya. Dengan menggunakan kain perca atau baju tak terpakai kita turut mengurangi produksi sampah tentunya.

#JourneyToZeroWaste
#kabolmenulis
#day9

Rabu, 21 Maret 2018

BANJIR LOKAL

Usai menyelesaikan beberapa urusan sepulang sekolah aku bergegas menuju rumah untuk menyimpan beberapa barang. Rencananya akan kembali ke sekolah merampungkan beberapa pekerjaan.

Akhirnya kuputuskan untuk ngobrol bersama Si  Anak semata wayang sambil makan di dapur karena tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya.  Baru satu suap,  terasa ada yang mengalir membasahi kaki. Airnya bening bersih tapi makin lama makin banyak. Dengan HP yang hampir mati kuhubungi suami agar segera pulang. Dalam kondisi remang-remang karena listrik mati, kudorong air keluar dengan peralatan seadanya karena jalur datangnya air dari kamar mandi tak bisa kubendung. Air terus mengalir tanpa peduli kelelahanku sementara suami dan anakku berusaha mencari penyebab meluapnya saluran kamar mandi.

Setengah jam berlalu, penyebab masih belum ditemukan. Alhamdulillah hujan mulai reda, air mulai surut tinggal bersih-bersih, mengeringkan lantai dan barang-barang yang basah karena banjir lokal. Untunglah Bukan banjir lumpur.

Tinggal di dataran tinggi lalu merasa aman dari banjir?  Ah,  belum tentu. Ujian bisa datang kepada siapa saja,  kapan saja,  di mana saja.

#kabolmenulis
#day6
(dipos Di FB)

Senin, 19 Maret 2018

Tak Maksud Buang Sembarangan

TAK MAKSUD BUANG SEMBARANGAN

Seorang sopir angkot bercerita saat saya menumpang angkotnya. Di sebuah tempat di tepi jalan raya sampah menggunung akibat ulah orang-orang tak bertanggung jawab. Maka beberapa orang anggota Brimob turun bersama warga sekitar termasuk Pak sopir angkot.

Beberapa puluh meter dari lokasi seorang perempuan yang menumpang ojek melempar sekantung plastik besar sampah. Tak lain dan tak bukan wanita tersebut adalah isteri salah seorang anggota Brimob yang tengah bersih-bersih. Pak sopir hanya tersenyum melihat kejadian tersebut.

"Lucu Bu. Suaminya bersih-bersih, Eh istrinya sendiri yang mengotori" seloroh Pak Sopir sambil tertawa renyah. Saya lantas berpikir,  secara tak langsung berarti Si Bapak anggota Brimob ikut buang sampah di tepi jalan. Si Bapak mungkin tak bermaksud demikian. Ia mungkin telah dengan benar membuang sampah pada tempatnya di rumah. Akan tetapi,  perjalanan sampah setelah itu luput dari perhatiannya.

Saya jadi membayangkan, jangan-jangan sampah yang mengotori sungai dan laut serta membahayakan biota di dalamnya,  diantaranya ada sampah saya. Saya mungkin tak sengaja membuangnya ke sana.

Demi mengurangi dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan, saya mengompos sampah organik di rumah. Selain itu upaya pengurangan produksi sampah dengan cara membawa rangtang atau misting saat jajan,  membawa tas belanja pakai ulang atau membawa bekal minum selalu terus diupayakan. Meski demikian rumah saya masih memproduksi sampah meski tak sebanyak dulu. Ada usulan meminimalisasi sampah?

#RethinkReduceReuseRecycle
#JourneyToZeroWaste
#SekecilApapunUpayaPastiAdaImpactnya

Untuk Sebuah Foto

Sore itu aku meminta Betty berfoto bersama di ruang keluarga untuk kenang-kenangan saat pulang ke tanah air. Sayang,  ia menolak dengan alasan malu karena kondisi rumah berantakan menurutnya. Padahal rumahnya jauh lebih rapi dari rumahku. "Nurul,  I promise we'll take a picture tomorrow" ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya. Ah, aku memang tak bisa menyamakannya dengan teman-temanku yang hobi selfie.

Keesokan harinya sepulang sekolah, Betty bercerita bahwa ada yang masuk ke kamarku. Kamarku memang tak pernah dikunci. Tapi aku tak perlu khawatir karena yang masuk adalah petugas kebersihan yang ia sewa. Bagiku kondisi rumah tidak terlalu berbeda, masih seperti biasa, bersih dan rapi.  Tapi bagi perempuan berambut pirang itu, jasa petugas kebersihan telah membuatnya PD untuk berfoto.

Usai makan malam kami pun berfoto di ruang keluarga. Saat itu ada aku, Desi (rekan guru asal Ciamis), Betty (pemilik rumah) beserta anak keduanya, Kate (mahasiswi pertukaran asal Amerika) bersama temannya asal Argentina serta Kodai (siswa pertukaran asal Jepang). Sementara dokter gigi gagah teman Betty bertindak sebagai fotografer. Ia tak pernah mau diajak berfoto.

Ah, demi sebuah foto Betty sampai mendatangkan petugas kebersihan khusus. Betapa berfoto adalah sebuah momen khusus. Saat itu South Australia sedang winter. Longjhon,  baju plus jaket kadang tak cukup untuk melawan dingin. Tapi,  di dalam rumah pemilik salon organik tersebut sungguh hati ini terasa hangat.

Dimana foto itu sekarang? Ada di dalam laptop tentunya. Aku tak berani mengunggahnya tanpa seizinnya. Bukankah dulu aku bilang, ini untuk kenang-kenangan? Kalaupun minta izin,  inginnya bicara alias ketemu langsung. Hihi... Semoga saja ada rejeki ketemu lagi.

#Kabolmenulis
#Day5

Jumat, 16 Maret 2018

VIDEO "ITU"

VIDEO "ITU"

Sore tadi saya tercekat melihat kiriman video di salah satu grup. Dalam video tersebut nampak jelas seorang anak tengah menonton video tak layak. Wajah Si Anak tampak jelas. Di sampingnya Sang Ibu duduk tenang, sepertinya mereka tengah menunggu antrian entah Rumah Sakit atau apa.

Tak berpikir panjang, saya langsung hapus video tersebut, khawatir terklik oleh anak saya jika ia meminjam HP.  Sesekali anak saya suka meminjam HP untuk sekedar bermain game "where is my water" atau menonton "Upin Ipin". HP saya juga tidak dipassword. Saya khawatir bila tak sengaja anak saya mengklik video tersebut lalu menanyakan "Anak dalam video tersebut sedang nonton apa? ". Saya tak punya jawaban. Membiarkan video berdurasi satu menit itu dalam HP, bagi saya sama saja dengan menyimpan video tak layak yang ditonton Sang Anak.

Video tersebut bisa jadi viral. Maksudnya mungkin untuk mengingatkan para orangtua agar tidak begitu saja memberikan HP kepada anak serta selalu mengawasinya. Namun,  tak bisa dibayangkan saat video tersebut viral Dan sampai pada orang-orang yang mengenal ibu dan anak tersebut. Ibu dan anak tersebut mungkin akan malu atau menjadi bahan gunjingan (semoga saja tidak). Padahal bisa jadi Si Anak tak sengaja mengklik, Si Ibu juga mungkin tak sengaja menyimpan. Bisa jadi video yang ditonton Si Anak adalah kiriman yang Si Ibu sendiri mungkin belum melihatnya.

Mengabadikan kejadian dalam bentuk foto atau video, saat ini cukup mudah dilakukan. Dalam hal mengunggah video atau foto, mungkin tujuannya baik namun perlu diperhatikan privasi orang. Perlu dipikirkan dampak yang akan timbul setelah video/foto diunggah baik bagi tokoh dalam video maupun orang yang menerima video/foto. Apa tidak lebih baik jika wajah Si Anak dan ibunya diblur? Atau mungkin dibuat narasi saja?

#Kabolmenulis
#Day4
(Dipos di FB)

Jumat, 23 Februari 2018

Sepenggal Cerita dari Merapi


Sekitar pukul tiga dinihari bis yang membawa rombongan guru-guru SMAN 1 Lembang tiba di kaki Gunung Merapi. Rasa kantuk yang tersisa,  membuat sebagian besar dari kami enggan turun dari bis dan memilih tidur sambil menunggu waktu shubuh. 

Satu jam kemudian kami pun berhamburan turun ditemani jaket yang menyelimuti. Hawa dingin menyambut,  rasanya tak terlalu menusuk,  mungkin karena kami sudah terbiasa tinggal di daerah pegunungan. 

Ditemani cahaya remang, akhirnya kami tiba di sebuah bangunan toilet. Dua toilet berukuran sekitar 1,5 X 1,5 meter yang bertandakan toilet wanita berhadapan dengan dua toilet pria. Lupakan soal mandi, bisa bersih-bersih ala koboy dengan aliran air sebesar kelingking bayi sungguh sudah nikmat tiada tara.

Usai menunaikan shalat shubuh di Masjid kami pun berkumpul di lapangan. Jeep offroad berjejer,  siap membawa kami. Setiap jeep bisa membawa empat orang penumpang. Pengemudi Jeep Wylis dengan sigap membawa Kami menuju lokasi bekas erupsi sambil bercerita dengan aksennya yang khas. Sesekali panitia juru foto yang kebetulan satu jeep dengan kami harus menurunkan kameranya. Palang setinggi dua meter tersebar sepanjang perjalanan. Bukan tanpa maksud portal itu dibuat. Penduduk berusaha menjaga jalan yang telah dibangun agar tak dilalui kendaraan berat seperti truk.

Tiba di lokasi kami disuguhi pemandangan sunrise, mentari perlahan tersenyum menampakan diri dari kaki gunung. Sungguh pemandangan yang luar  biasa. Beberapa panggung siap dinaiki siapapun yang ingin mengabadikan momen dengan latar puncak merapi. Para fotografer lokal pun selalu siap beraksi. Jangan heran kalau tiba-tiba saat kita turun dari lokasi,  mendapati foto kita yang sudah dicetak berjejer rapi. Kita bisa memilikinya seharga sepuluh ribu rupiah.

Tak jauh dari lokasi foto, sebuah batu besar bertengger. Dikenal dengan nama batu Alien,  batu tersebut memperlihatkan wajah seorang kakek. Konon batu tersebut terlempar dari puncak merapi saat terjadi erupsi. Masyarakat percaya bahwa batu tersebut memiliki kekuatan magis. Alien sendiri katanya berasal dari bahasa jawa "alihan" yang berarti pindahan.

Puas menikmati matahari terbit dan berfoto,  kami pun dibawa kembali Jeep Wylis menyusuri tempat lainnya. Hamparan pasir berbatu menandakan di sana dulu pernah terjadi erupsi. Sebagian lokasi sudah ditumbuhi perdu, semak dan sedikit pohon. Sebuah contoh suksesi primer yang bisa ditunjukkan kepada anak-anak yang tengah belajar Biologi.

Jeep berhenti di depan sebuah rumah yang dikenal dengan Museum Omahku Memoriku atau Museum Sisa Harta yang merupakan sisa bangunan yang terkena letusan. Merinding rasanya melihat perabotan yang meleleh, tulang ternak yang tersisa juga beberapa foto kondisi saat terjadi erupsi. Jam dinding dalam kondisi rusak masih terpampang dan menunjukkan angka 00.15, waktu terjadinya erupsi 5 November 2010 silam. Tak terbayangkan, pada saat tersebut mungkin banyak penduduk tengah terlelap tidur, sebagiannya mungkin berhamburan mengungsi, sebagian lagi mungkin baru tersadar di alam yang berbeda. Sebuah pengingat  bagi para pengembara bahwa suatu saat kita akan dipanggil pulang. Ah,  sudahkah kita berbekal?

Usai berkeliling di Museum mini yang buka pukul 07.00 hingga pukul 17.00 tersebut, kami pun dibawa kembali menuju bis untuk melanjutkan perjalanan ke Kota Yogya. Ada rasa campur aduk saat meninggalkan gerbang bertuliskan "The Lost World". Apa yang ada di dunia ini memang suatu saat akan hilang, yang abadi hanyalah DIA.

Selain tempat yang saya ceritakan,  masih banyak tempat lain yang bisa dikunjungi di sekitar Merapi. Dengan biaya 350 hingga 700 ribu rupiah per Jeep,  kita bisa diantar mengunjungi berbagai lokasi. Bila suka berbasah ria kita bisa memilih paket yang menawarkan salah satu rutenya  ke Kali Kuning. Bila ingin mengenang Sang Juru Kunci, kita bisa memilih rute ke Kampung Mbah  Marijan. 
Subhanallah, betapa kreatifnya para penduduk yang mengubah musibah menjadi ladang berkah. Sungguh bersama kesulitan Allah berikan kemudahan.

Sabtu, 10 Februari 2018

Pembalut kain, Kenapa Enggak?


Beberapa tahun lalu, sempat tersiar kabar bahwa pembalut-pembalut tertentu mengandung zat-zat berbahaya bagi kesehatan. Hal tersebut tidak menyebabkan saya berhenti menggunakan pembalut di masa haid karena alasan kepraktisan. Saya tetap pakai pembalut hanya saja agak pilih-pilih merek yang katanya aman. Merek pembalut apa pun yang saya gunakan, di akhir masa haid tetap saja saya mengalami lecet pada selangkangan. Segala jenis merek, mulai dari yang murah sampai mahal sudah dicoba, hasilnya tetap saja. Akhirnya saya terima nasib lecet di akhir periode haid, toh dua tiga hari kemudian biasanya sembuh sendiri.

Tahun 2009, saya mulai berproses menjalankan gaya hidup zero waste. Saya melakukannya secara bertahap. Saya kemudian berpikir bahwa setiap bulan saya pasti nyampah bisa sekitar 30-50 pembalut. Kalau buang air, pasti saya ganti pembalut. Dalam pembalut selain komponen biodegradable ada juga komponen plastiknya susah diuraikan dan tentunya meracuni lingkungan. Belum lagi plastik pembungkusnya. Mantap sudah kedzaliman saya pada lingkungan. Di situ hati saya galau.

Saya kemudian mencari alternatif untuk berupaya menekan jumlah sampah saat haid. Zero waster di negara-negara barat banyak yang menggunakan menstrual cup, semacam cup kecil berbahan silikon yang diselipkan ke dalam vagina untuk menampung darah haid. Katanya sih mudah dibersihkan, tapi saya kok enggak berani pakai, membayangkannya saja ngeri.
Alternatif lain yang mungkin adalah menggunakan pembalut kain. Yang ini agak kontroversi juga. Ada kekhawatiran bagaimana kalau mencucinya enggak bersih dan sebagainya. Meski demikian, bagi saya ini adalah sebuah alternatif yang paling mungkin. Singkat cerita, mulailah saya mix menggunakan pembalut sekali pakai seperti biasa dan pembalut kain. Pembalut kain hanya dipakai saat berada di rumah saja. Beberapa tahun seperti itu, paling tidak saya bisa menekan separuh jumlah sampah saat haid. 

Ingin berupaya terus menuju zero waste, saya kemudian memutuskan untuk full menggunakan pembalut kain sejak tahun kemarin. Tadinya sih saya khawatir bagaimana memperlakukan pembalut bekas pakai saat di luar rumah. Ternyata masih bisa diatasi dengan menyimpannya pada tas kecil anti bocor. Meski sebenarnya pembalut tadi tak pernah bocor. Kain yang digunakan adalah kain khusus yang mudah menyerap cairan sehingga tidak tergenang. Saat tiba di rumah barulah pembalut tadi saya cuci. Anehnya kain pembalut tersebut mudah dibersihkan, saat diguyur dengan air noda darah gampang luntur. Sebagian orang mungkin berpikir, boros air dong! Enggak tuh! Untuk pencucian awal sebelum menggunakan sabun/deterjen, saya biasanya mengguyur dengan air bekas bilasan cucian baru kemudian dicuci seperti biasa.

Setelah full menggunakan pembalut kain, lecet langganan yang dulu saya rasakan justru malah hilang. Alhamdulillah. Oya, saya tetap merasa kering asal sering ganti. Takut dengan pembalut kain? Enggak tuh, yang penting pilih pembalut yang berbahan nyaman. Perlu perjuangan lebih untuk mencuci memang dibanding menggunakan pembalut sekali pakai. Namun demikian, jejak sampah yang dihasilkan lebih sedikit tentunya. Enggak kebayang kalau saya masih seperti dulu, haidnya sudah beres tapi perjalanan sampah bekasnya masih berlangsung entah berapa bulan atau beberapa tahun kemudian.

Jumat, 26 Januari 2018

4 Alasan Kenapa Penggunaan Plastik Sekali Pakai Harus Dikurangi

Setidaknya ada 4 alasan mengapa penggunaan plastik sekali pakai harus segera dikurangi. Keempat alasan tersebut saya sarikan dari "Plastic Pollution Coalition".

1. Plastik tidak bisa diuraikan
Plastik sulit diuraikan, partikel paling kecil dari plastik disebut mikroplastik mungkin bisa termakan oleh hewan. Kalaupun dibakar, plastik menghasilkan partikulat yang beracun.

2. Plastik meracuni rantai makanan
Partikel-partikel kecil dari plastik bisa termakan oleh makhluk-makhluk kecil. Makhluk kecil kemudian dimakan oleh makhluk besar. Bukan tidak mungkin pada akhirnya tiba juga di dalam tubuh manusia. Sebuah studi mengungkapkan 93% orang Amerika mengandung BPA di dalam tubuhnya (salah satu zat yang ditambahkan saat pembuatan plastik). Bagaimana dengan tubuh orang Indonesia? Entahlah, saya belum menemukan informasinya.

3. Plastik dapat mengganggu kesehatan manusia
Zat kimia dalam plastik yang luntur saat terkena panas atau minyak dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan. Zat-zat tersebut berpengaruh terhadap kesehatan manusia, memicu berbagai oenyakit. Penyakit apa saja? Kita bahas lain waktu ya ...

4. Plastik sekali pakai merupakan sumber utama polusi plastik di muka bumi
Penggunaan plastik sekali pakai sudah begitu tak terkendali. Kepraktisan menjadi sebuah alasan. Digunakannya mungkin hanya beberapa hari, beberapa jam bahkan mungkin beberapa menit, namun jejaknya tak bisa terhapus dalam waktu singkat.

Kamis, 25 Januari 2018

Keramas Tanpa Shampo

Belakangan saya berpikir keras untuk mengurangi penggunaan sampah plastik karena plastik sulit terurai dan daur ulang bukanlah solusi berkelanjutan serta alasan-alasan lainnya. Saat shampo hampir habis, saya mencari-cari toko refill shampo tapi belum menemukan. Biasamya sih saya beli dalam kemasan yang cukup besar demi meminimalisasi sampah. Sebotol shampo 640 ml bisa untuk berbulan-bulan dipakai bertiga saya, suami dan anak lelaki kami.

Sempat terinspirasi buat beli shampo batangan tapi belum nemu di toko-toko terdekat. Selanjutnya saya cari ide dengan googling, buka-buka pinterest dan youtube. Cukup banyak resep untuk membuat shampo batangan tapi  beberapa bahan seperti alkali dan minyak esensial belum tersedia di rumah. Akhirnya saya ikutan keramas "No-poo" alias tanpa shampoo. Lho, memangnya bersih?

Saya pakai baking soda yang ada di dapur sudah cukup lama karena jarang digunakan. Caranya? Saya basahi rambut, ambil baking soda, ratakan ke kulit kepala dan rambut sambil dipijat-pijat. Setelah dibilas saya semprotkan cuka apel 10 % (1 bagian cuka apel, 9 bagian air) untuk menghilangkan sisa-sisa alkali lalu didiamkan sekitar dua menit. Sebenarnya enggak tepat 2 menit sih, berhubung di kamar mandi enggak ada jam. Akhirnya kepala dibilas lagi, bilasan terakhir pakai air dingin agar pori-pori kulit tertutup.

Hasilnya? Maaf ya gak bisa difoto sehubungan dengan ajaran yang saya yakini, hanya bisa diceritakan. Selesai keramas, aroma cuka apel masih sedikit tercium, tapi setelah kering baunya hilang. Kulit kepala alhamdulillah cukup bersih hanya sedikit gatal di daerah tertentu, kayaknya semprotan cuka apelnya kurang banyak di daerah itu. Untuk rambut sendiri jadi kurang halus, enggak kayak shampo biasa. Lho kok? Shampo biasa ada yang mengandung silikon untuk melapisi rambut sehingga rambut terasa halus. Kemungkinan rambut jadi agak kasar karena silikonnya terkikis, mudah-mudahan kulit kepala cepat menyesuaikan diri untuk melembapkan rambut dengan minyak alaminya.

Sekian review keramas tanpa shampo kali ini. Saya mau coba juga buat shampo dan pelembut dari bahan yang ada di sekitar. Kalau ada perkembangan, nanti saya bercerita lagi 😉.

Kamis, 18 Januari 2018

Komposisi Nu Amoorea

Sejak 6 Agustus 2017, saya pakai beauty bar plus Nu Amoorea. Kenapa pilihannya jatuh ke Amoorea? Kapan-kapan lah insya Allah ditulis.

Sekarang mau nitip catatan dulu di blog ini kalau komposisi BB plus Amoorea ini adalah : dysodium lauryl sulfosuccinate, sodium coco-sulfate, triticum vulgare (wheat) strarch, cetearyl alcohol, talcum, glycerin, heilmoor clay, water, fragrance, algae extract, polyglucuronic acid, malus domestika fruit cell culture extract, xanthan gum, licithin, phenoxethanol, olea europea (olive) fruit oik, butylene glycol, glycyrrhiza glabra (licoric) root extract, propylene glycol, camelia sinensis (green tea) extract, mekaleuca alternifolis (tea tree) leaf oil.

Fungsi dan sifat dari masing-masing zat tersebut. Insya Allah dibahas lain kali ya. Kalau mau tanya-tanya tentang Amoorea boleh chat 083821388231 ya😉

Apresiasi

Mungkin sudah sifat manusia, ia senang diapresiasi. Ada yang lantas kecewa, marah atau bahkan balik kanan karena merasa tak diapresiasi. Di sisi lain ada juga yang kurang sensitif melihat kebaikan yang telah dilakukan, sepertinya biasa-biasa saja, sehingga lupa mengapresiasi.

Kita mungkin pernah berada dalam kedua posisi tersebut. Lantas bagaimana agar hati kita tetap lapang? (pendapat saya ini mah, heu...heu...)

Bila kita telah melakukan kebaikan, jangaaan....sedikitpun berharap apresiasi dari orang. Jangaaaan....terpengaruh dengan pujian maupun hinaan. Adapun saat mendapat pujian, kembalikan semua kepada Allah. Bukankah kita dapat berbuat baik itu semata atas karunia-Nya? Bila mendapat hinaan, mari beristighfar, bukankah bisa jadi sebenarnya kita lebih buruk dari apa yang dihinakan? Berdo'a saja semoga Allah menghapus keburukan-keburukan dari diri kita.

Sebaliknya saat kita dalam posisi melihat kebaikan orang, mari mengapresiasi sebisa kita. Mengucap terima kasih, mengacungkan jempol, menyebut "Hebat!" sambil tersenyum tidaklah susah bukan? Namun semua harus dilakukan segenap hati.

Akhirnya, bagi seorang mukmin, pandangan yang sejati adalah pandangan dari Rabbnya,
"Dan bekerjalah kamu, niscaya Allah, Rasul dan orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu kerjakan" (QS. At-Taubah : 105)

Kamis, 11 Januari 2018

Rumah Cinta

Ada cinta di setiap jengkal tanahnya
Ada cinta dalam setiap molekul udaranya
Ada cinta di setiap wajah penghuninya

Terima kasih telah mengajariku cinta
Cintamu telah mengisi semesta sukma
Kemanapun pergi kan kubawa cinta
Karena cinta tak kan pernah sirna
Ianya kan terus mengganda
Kemanapun kaki melangkah,
Bukan tuk memindahkan cinta
Melainkan menebar, menduplikasi cinta

Senin, 08 Januari 2018

Mengompos Dengan Metode Takakura

Separuh sampah rumah tangga adalah sampah organik.Dengan mengompos sampah organik di rumah berarti kita telah menyelesaikan 50% masalah sampah di rumah. Metode Takakura cocok dilakukan di rumah meski tak punya pekarangan karena komposter Takakura bisa disimpan di dalam rumah sehubungan tidak menimbulkan bau. Apa saja yang perlu disiapkan?
1. Keranjang dengan lubang-lubang kecil (saya pakai keranjang cucian)
2. Dus bekas untuk pelapis bagian dalam
3. Kain perca untuk membuat bantal sekam atas dan bawah
4. Sekam untuk bantal sekam dan campuran kompos.
5. Bibit kompos (dibuat cukup sekali saja di awal)
CARA MEMBUAT BIBIT
Untuk satu komposter dibutuhkan : 1kg dedak (huut), sekam sebanyak 4x volum dedak, tanah subur minimal 1x volum (saya sih pakai 3 volum), 100gr gula dalam 250 ml air, air secukupnya.
1. Campur dedak, sekam, tanah dan air gula
2. Tambahkan air sampai campuran dapat dikepal namun air tidak menetes
3. Masukkan ke dalam karung, aduk sekali sehari
4. Setelah 1-2 hari campuran akan terasa hangat, bila tidak hangat bisa ditambahkan sebotol yakult (boleh merk lain ya)
5. Setelah 4-7 hari, bibit siap digunakan.
PERAKITAN KOMPOSTER
1. Lapisi bagian dalam keranjang dengan dus  bekas
2. Simpan bantalan sekam di dasar keranjang untuk menjaga suhu serta menyerap lindi
3. Masukkan bibit kompos sampai 2/3 bagian keranjang (jumlah bibit di atas pas untuk starter 1 komposter)
4.Tutup bagian atas dengan bantal sekam lagi untuk menjaga suhu kompos tetap hangat, Simpan sekop kecil di atasnya.
5.Tutup dengan tutup keranjang
MANUAL PENGGUNAAN
1. Buka tutup keranjang, bantal atas
2. Gali kompos dengan sekop kecil, masukkan sampah organik yang telah dipotong-potong.
3. Kubur kembali dengan kompos di sekitarnya.
4. Tutup kembali dengan bantal sekam dan tutup keranjang
5. Sampah organik dapat dimasukkan Ke dalam keranjang setiap hari dengan kapasitas maksimal 2 kg per hari
6. Bila sudah penuh (1-6 bulan,  tergantung banyaknya sampah organik) kompos dapat diambil sebagian untuk dijadikan pupuk maupun bibit. Sebagian lagi dibiarkan menjadi starter dalam komposter.
7. Bila tercium bau tak nyaman, tambahkan sekam.
Selamat mencoba 😉

Minggu, 07 Januari 2018

Beraninya Orang ZW (Memungut Sampah Organik)

Wuih...hari ini saya benar-benar terpana membaca postingan salah satu anggota grup zero waste. Bagaimana tidak? Dia dengan PDnya meminta pemilik usaha terdekat untuk mengumpulkan sampah organiknya yang kemudian akan dia kompos.
Huhu...terharu sekali saya. Saya sih sudah merasa senang, bangga (berjuta rasa pokoknya) bisa ngompos sampah organik sendiri. Sampah organik orang? Biar mereka sendiri yang bertanggung jawab. Hihi...egois sekali ya? Tapi gimana lagi? Saya belum mampu kalau sampai ngurus sampah organik orang.
Siapakah orang ZW yang gagah berani tadi? Maaf saya belum izin menyebarluaskan namanya. Pokoknya seseorang di benua Amerika 😉
Belum bisa jadi bagian dari solusi persampahan? Minimal jangan nambah masalah. Yuk kita bertanggung jawab dengan sampah sendiri!