“Bunda, aku ga akan sekolah ah”
jagoanku yang memang belum bersekolah itu tiba-tiba nyeplos sebelum beranjak ke
tempat tidur. “Lho, memangnya kenapa?” tanyaku heran. “ Aku mau di rumah aja
ah, biar bisa main terus” jawabnya polos. “Di sekolah juga main lho.” Aku
berusaha menjelaskan. “Engga Bunda, di sekolah itu bukan main tapi berajar”
ucapnya.
“O ya?”
“Iya Bunda, di sekolah itu nanti
berajar matematika. Bunda tahu engga matematika apa?”
“Engga, memangnya apa?”
“ Matematika itu berhitung Bunda,
ih pusing”
What? Aku tambah bengong anak
usia empat tahun sudah kenal kata pusing. Aku berusaha menganalisis mengapa
anakku menganggap matematika itu pusing dan di sekolah itu tempat belajar bukan
bermain seolah bermain dan belajar itu dua hal yang bertolak belakang dan
keduanya tak bisa disatukan.
Setiap hari sebetulnya dia
belajar berhitung meski tak pernah dilabeli matematika atau berhitung. Dia
bahkan belajar atas kemauannya sendiri, dimulai menghitung jarinya hingga
kemudian dia memahami symbol jumlah berupa angka. Belakangan bahkan dia sering
menanyakan volume, menanyakan penjumlahan tak hanya satuan tapi puluhan bahkan
ratusan. Tapi mengapa dia menganggap jika matematika itu sulit? Dia tak sadar
bahwa hari-harinya penuh dengan matematika.
Selidik punya selidik, image
matematika itu sulit, sekolah itu mengekang kebebasan bermain pasti
diperolehnya dari lingkungan. Selama ini dia banyak menghabiskan waktu dengan
teman-teman sepermainannya, sebagian besar teman-teman bermainnya sudah bersekolah
baik di PAUD maupun TK. Sering pula ia bermain dengan famili dan anak-anak usia
SD. Sepertinya “image” tadi ia dapatkan dari teman-teman bermainnya. Kalau
demikian adanya, ini jadi PR besar untuk orang tua dan guru agar anak merasa
senang bersekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar