Hari-hari di laboratorium terasa
begitu panjang dengan setumpuk pekerjaan yang sudah kumulai berbarengan dengan
awal kehamilan anak yang begitu lama kudambakan. Menimang bayi, adalah
kebahagian paripurna yang tak ingin kulepaskan. Suatu malam di akhir bulan Mei
2008, kutimang bayi merah yang seharian kutinggalkan. Tiba-tiba suara Ibu
mengejutkanku, “ Teh, bagaimana penelitiannya? Sudah sampai mana?” pertanyaan
yang paling malas aku dengar. Penuh terpaksa aku menjawab, “ Entahlah Bu,
mungkin takkan selesai” kujelaskan panjang lebar soal bahan yang sulit
didapatkan bahkan harus indent berbulan-bulan
karena harus impor, beberapa pengukuran serta perlakuan yang harus dilanjutkan.
Ibu manggut-manggut mendengar penjelasanku yang jelas bukan bidang keahliannya
lalu menyarankan aku untuk mencari distributor lain dan menghadap dosen
pembimbing untuk minta masukan. Saran ibu aku jalankan dan Alhamdulillah bisa lulus
sidang tesis beberapa bulan kemudian.
Saran ibu manjur bukan kali itu
saja. Suatu waktu adikku menangis mengaku takut menghadap dosen pembimbingnya
karena menurut pengalaman para seniornya, mahasiswa yang dibimbing dosen
tersebut sering menangis setelah bimbingan. Adikku malah menangis sebelum
bimbingan. Tiba-tiba ibu berujar, “ Temui dia, dia pasti baik sama kamu” seolah
ibu pernah bertemu dengan dosen tersebut. Benar saja, pulang bimbingan wajah
adikku sumringah “ Tak seseram yang diceritakan orang” katanya. Adikku bisa
lancar mengerjakan skripsinya dibawah bimbingan dosen yang awalnya dia takuti.
Sang dosen bahkan mendorong adik untuk melanjutkan S2 dan bersedia memberikan
surat rekomendasi.
Di kampus kami memiliki dosen
pembimbing yang sangat ahli di bidangnya masing-masing tapi di rumah kami pun memiliki dosen
pembimbing yang selalu siap saat dibutuhkan bahkan tanpa perlu janjian. Ibu
bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, jangankan S3 SD pun tak usai dia
selesaikan karena kedua orang tuanya bercerai dan pendidikan di desanya saat
itu tak terperhatikan.
Ibu bagi kami bukan saja dosen
pembimbing skripsi atau tesis melainkan pembimbing kami dalam menjalani universitas kehidupan. Kuliah ibu baik verbal maupun nonverbal sangat
membekas. Ibu adalah orang yang pantang menyerah bahkan saat setrika rusak tak
membuat ibu batal menyetrika, setrika yang belum atomatis di akhir tahun
delapan puluhan memaksa ibu menggunakan obeng untuk membongkarnya dan diketahui
penyebabnya adalah elemen yang telah rusak. Setelah elemen diganti, setrika
berfungsi kembali. Entah dari mana ibu bisa mengetahui peralatan elektronik.
Tak hanya itu, ibu juga adalah
orang yang penyabar, tak banyak menuntut dan penuh daya juang. Sebagai isteri
seorang PNS golongan II dengan gaji alakadarnya, ibu tak banyak menuntut. Untuk
menambah pendapatan keluarga ibu menjadi penjahit. Terkadang ibu sampai tak
tidur semalaman jika ada pesanan yang harus segera diselesaikan.
Ibu juga adalah wanita yang
pandai memenej situasi. Suatu malam ayah terbaring dan memanggil keempat
anaknya untuk mengaji. Ibu duduk disampingnya sambil memegang erat tangannya.
Sesekali kulirik ayah yang nafasnya tampak semakin perlahan. Ibu membisikan kalimah
thoyibah di telinga ayah. Rupanya ayah kami tengah menghadapi sakaratul maut.
Napasnya semakin perlahan hingga akhirnya tak bernapas lagi. Menangis? Tentu saja
ibu menangis tapi tidak meraung-raung. Ibu memintaku mendatangi paman yang
rumahnya tak begitu jauh untuk menyampaikan berita tersebut dan mempersiapkan
pemakaman keesokan paginya.
Ibu kemudian menjadi single parent yang harus membesarkan
empat anak perempuan yang masih harus dibiayai. Saat itu aku tengah kuliah
tingkat tiga, adik kedua tingkat dua, adik ketiga duduk di bangku SMA dan si
bungsu SMP. Alhamdulillah, perjuangan ibu mengantarkan kami menyelesaikan
sekolah dan memasuki biduk rumah tangga. Terima kasih ibu, atas segala
perjuangan dan pelajaran yang ibu berikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar