Sabtu, 24 November 2018

Lelaki Kecilku Galau

Kuusap punggung lelaki kecilku. Raut wajahnya tak biasa. Mendung masih menggantung pada muka lelaki sepuluh tahun itu. “Ayo tidur Nak, supaya bisa bangun shubuh” ucapku. “Gak bisa tidur Bun" katanya sambil membalikkan badan. Biasanya baca sebentar, tak lama kemudian ia akan tertidur pulas.
Ada yang berbeda di malam itu. Sejenak pandangannya tertuju pada piala O2SN tahun kemarin. “Duh, renang" bisiknya lirih. “Kamu masih gak ikhlas melepas lomba renang?” tanyaku. “Bukan begitu Bun” jawabnya pendek. “Tadi Bu Guru WA Bunda, katanya kamu pilih gak ikut lomba renang” hati-hati kulontarkan kalimat itu. Kegalauan sempat hinggap juga di hatiku siang tadi sebenarnya. Bu guru mengabarkan bahwa lomba siswa berprestasi jadwalnya berbarengan dengan O2SN renang. Sebenarnya hatiku lebih galau lagi menyaksikan lelaki kesayangan kehilangan senyumnya. Ibu mana yang tega melihat buah hatinya berduka.


Aku sebenarnya tak pernah memaksa anakku untuk ikut berlomba, namun kepercayaan sekolah telah diamanatkan pada lelaki yang terlahir dari rahimku itu. Sayangnya dua amanat dalam satu waktu tak mungkin dilaksanakan bersamaan. Mungkin ini momen yang tepat bagi anakku untuk memilih. “Iya, aku bilang pilih ikut lomba berprestasi. Sebenarnya aku lebih suka lomba renang” kata-kata mengalir dari mulut mungilnya. Binar di matanya masih saja bersembunyi entah di mana. “Tapi aku kasihan sama Bu Guru, udah ngajarin aku buat ikut siswa berprestasi,” sambungnya. “Kamu harus ridho dengan pilihanmu. Kalau hatimu belum lega, Bunda bisa bilang Bu Guru kalau kamu berubah pikiran” jelasku. “Jangan Bun!” pintanya. “Kalau gitu ikhlaskan, Bunda tahu kamu sudah berlatih renang tiap pekan, dan sekarang kamu korbankan untuk lomba yang lain yang mungkin jarang sekali kesempatannya. Semoga pengorbanan kamu berbuah keberkahan. Kalau kamu senang lomba renang, insya Allah nanti Bunda carikan, bahkan kalau lombanya di luar kota insya Allah bunda antar" hiburku. Akhirnya si anak semata wayang tertidur lelap.
Kuusap punggung lelaki kecilku. Raut wajahnya tak biasa. Mendung masih menggantung pada muka lelaki sepuluh tahun itu. “Ayo tidur Nak, supaya bisa bangun shubuh” ucapku. “Gak bisa tidur Bun" katanya sambil membalikkan badan. Biasanya baca sebentar, tak lama kemudian ia akan tertidur pulas.
Ada yang berbeda di malam itu. Sejenak pandangannya tertuju pada piala O2SN tahun kemarin. “Duh, renang" bisiknya lirih. “Kamu masih gak ikhlas melepas lomba renang?” tanyaku. “Bukan begitu Bun” jawabnya pendek. “Tadi Bu Guru WA Bunda, katanya kamu pilih gak ikut lomba renang” hati-hati kulontarkan kalimat itu. Kegalauan sempat hinggap juga di hatiku siang tadi sebenarnya. Bu guru mengabarkan bahwa lomba siswa berprestasi jadwalnya berbarengan dengan O2SN renang. Sebenarnya hatiku lebih galau lagi menyaksikan lelaki kesayangan kehilangan senyumnya. Ibu mana yang tega melihat buah hatinya berduka.

Aku sebenarnya tak pernah memaksa anakku untuk ikut berlomba, namun kepercayaan sekolah telah diamanatkan pada lelaki yang terlahir dari rahimku itu. Sayangnya dua amanat dalam satu waktu tak mungkin dilaksanakan bersamaan. Mungkin ini momen yang tepat bagi anakku untuk memilih. “Iya, aku bilang pilih ikut lomba berprestasi. Sebenarnya aku lebih suka lomba renang” kata-kata mengalir dari mulut mungilnya. Binar di matanya masih saja bersembunyi entah di mana. “Tapi aku kasihan sama Bu Guru, udah ngajarin aku buat ikut siswa berprestasi,” sambungnya. “Kamu harus ridho dengan pilihanmu. Kalau hatimu belum lega, Bunda bisa bilang Bu Guru kalau kamu berubah pikiran” jelasku. “Jangan Bun!” pintanya. “Kalau gitu ikhlaskan, Bunda tahu kamu sudah berlatih renang tiap pekan, dan sekarang kamu korbankan untuk lomba yang lain yang mungkin jarang sekali kesempatannya. Semoga pengorbanan kamu berbuah keberkahan. Kalau kamu senang lomba renang, insya Allah nanti Bunda carikan, bahkan kalau lombanya di luar kota insya Allah bunda antar" hiburku. Akhirnya si anak semata wayang tertidur lelap.