Sabtu, 31 Desember 2016

MENIKMATI ALAM : GRATISKAH?

Bergeraklah!
Berlarilah!
Menikmati alam yang indah
Sebelum semua harus ditebus dengan rupiah

Hiruplah udara dalam-dalam
Biarkan ia mengalir pelan-pelan
Dan raga pun kan menyatu dengan alam
Bukankah setiap sel adalah bagian kefanaan?

Mari! Mari mendaki
Menginjakkan kaki di dataran tinggi
Sebelum cuma-cuma tak berlaku lagi
Karena gunung pun ada yang memiliki

(Lembang, penghujung 2016)

Senin, 12 Desember 2016

Komunikasi Tanpa Kekerasan

Semakin usia bertambah, rasanya saya semakin bawel saja. "Mumtaaaaz.... Bereskan mainannya!" adalah teriakan yang sering terdengar setiap harinya. Suatu ketika, pagi hari sebelum berangkat sekolah tatkala semua sudah siap anak saya dengan santai menenteng sepatu yang akan dipakainya dan saya perhatikan tanpa kaos kaki lalu ketika dicari dalam rak sepatu terdapat sembilan belah kaos kaki tanpa pasangannya. Mulailah saya berpidato, " Kamu kebiasaan kalau nyimpen kaos kaki selalu sembarangan" "Kata siapa Bun Selalu? hari senin aku bener nyimpen kaos kaki di tempatnya. Tenang Bun, ada tiga pasang di kolong bangku di mejaku di sekolah, nanti aku bawa pulang" ditimpali begitu tak tahan rasanya melanjutkan ceramah yang kemudian melebar kesana kemari yang berakhir dengan ekspresi cemberut jagoanku. Duuuh... sedih rasanya, kenapa berakhir begini, padahal yang aku inginkan sebenarnya sederhana "jagoanku menyimpan kaos kaki pada tempatnya". 

Setiap hari kita berkomunikasi dengan orang di sekeliling kita, namun terkadang berakhir buruk. Menurut seorang ahli psikologi Marshall B. Rosenberg, PhD dalam buku NONVIOLENT COMMUNICATION A Language of Life, hal tersebut terjadi karena kita menggunakan gaya komunikasi "Life-Alienating Communication" sebuah gaya komunikasi yang bukannya membangun jembatan malah tembok penghalang antara kita dengan orang yang diajak bicara. Tembok tersebut terbentuk karena kita menggunakan KATA-KATA YANG BERSIFAT MENGHAKIMI ataupun PENGHAKIMAN MORAL. Mengeluarkan kata-kata menghakimi akan menyebabkan orang yang diajak bicara bersikap depensif padahal pesan kita belum tersampaikan. Sedangkan penghakiman moral yaitu menganggap salah orang yang memiliki sistem nilai yang berbeda dengan kita akan menyebabkan hubungan yang semakin renggang.

Komunikasi seharusnya membuat orang yang berkomunikasi saling mengerti akan pesan yang disampaikan. Agar tujuan tersebut terwujud dan hubungan tetap terjaga maka pola komunikasi "NONVIOLENT COMMUNICATION" (NVC) adalah salah satu jalan. Terdapat empat tahapan dalam menjalankan NVC yaitu observasi, identifikasi perasaan, identifikasi kebutuhan dan permintaan yang jelas.
1. Observasi
Pada tahapan ini kita harus berupaya sadar dengan kondisi yang terjadi dan menggunakan seluruh indera termasuk mendengar pendapat orang tentang kondisi yang diobservasi. Pada  tahap ini membuat GENERALISASI adalah sesuatu yang harus dihindari. Daripada mengatakan "Kamu selalu menyimpan kaos kaki sembarangan" lebih baik mengatakan "Kaos kaki yang kamu pakai kemarin tidak disimpan pada tempatnya". Berusaha SPESIFIK adalah sebuah langkah agar tidak terjebak ke dalam generalisasi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah berhati-hati terhadap pelabelan termasuk label yang berkaitan dengan konsepsi awal tentang seseorang atau sesuatu terlebih label negatif karena dapat membuat barier dalam berkomunikasi.
2. Identifikasi Perasaaan
Langkah selanjutnya adalah mengindentifikasi perasaan kita terhadap kondisi yang diobservasi. Cari kata-kata yang benar-benar spesifik yang menjelaskan perasaaan kita.
3. Identifikasi Kebutuhan Kita
Berikutnya, apa sih yang kita ingin atas kondisi yang terjadi? Misal, saat Si Kecil membuat ruangan berantakan dengan mainannya kita menginginkan ruangan kembali rapi.
4. Nyatakan permintaan dengan jelas
Setelah kita yakin dengan apa yang sebenarnya kita inginkan, nyatakan PERMINTAAN kita kepada lawan bicara kita dengan JELAS menggunakan BAHASA POSITIF bukan bahasa negatif. Bahasa positif berupa meminta seseorang melakukan sesuatu berkebalikan dengan bahasa negatif yang menyuruh orang untuk berhenti melakukan sesuatu. Rosenberg memberi contoh tentang seorang suami yang merasa kesal karena isterinya sering pulang terlambat dari tempat kerjanya. Sang suami berkata kepada istrinya, "Kayaknya kamu bekerja terlalu keras, sudahlah jangan terlalu capek". Sang isteri menangkap pesan "Jangan bekerja terlalu keras" ia kemudian berencana pergi untuk pergi refreshing. Yang diinginkan oleh suaminya sebenarnya bukan Sang Isteri pergi refreshing melainkan sang isteri mengalokasikan waktu untuk menghabiskan waktu bersama keluarga.

Dengan menerapkan NVC teriakan "Beresin mainannya!" bisa diganti dengan "Nak, Bunda pusing kalau melihat ruangan berantakan. Agar ruangan tetap rapi bisakah kamu merapikan mainan setelah selesai bermain?". Untuk kasus kaos kaki, "Bunda kerepotan kalau harus mencari kaos kaki yang tak jelas disimpan di mana. Mulai besok, bisakah kamu menyimpan kaos kaki pada tempatnya? hari ini maaf kalau kamu tak pakai kaos kaki".

Andai saja saya menerapkan NVC saat berbicara dengan anak saya waktu itu, mungkin tak akan ada yang tersakiti. Tapi, sudahlah! bukankah hidup ini adalah sebuah proses untuk terus belajar, belajar dan belajar. NVC bukan saja cara berkomunikasi seorang ibu kepada anaknya melainkan cara berkomunikasi kepada siapapun kapanpun dimanapun. NVC melatih kita berpikir sebelum bicara. Dengan menerapkan NVC maka kita akan terhindar dari bahaya yang diakibatkan oleh lisan kita.

Lembang, Selasa 13 Desember 2016 01.47
Maafkan Bunda Nak

Sabtu, 19 November 2016

Tips Nyaman Tinggal di Setiap Tempat

 (sumber foto : belajar.kemdikbud.go.id)
Apakah kamu sudah merasa nyaman tinggal di tempatmu sekarang atau malah mencari tempat lain yang kira-kira membuatmu nyaman? berikut beberapa tips yang dikutip dari buku " This Is Where You Belong (The Art and Science of Loving The Place You Live) karya Melody Warnick (2016).
  1. Alih-alih mencari tempat baru untuk mencari kenyamanan dan kebahagiaan, lebih baik berupaya menyamankan diri tinggal di daerah yang tengah ditinggali. Sebuah riset menyimpulkan bahwa orang yang merasa nyaman dengan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya jarang terkena serangan jantung maupun stroke.
  2. Perbanyaklah berjalan kaki atau bersepeda mengelilingi kota tempat tinggalmu. Dengan begitu, ikatan dengan lingkungan akan semakin kuat. Kabarnya orang yang terlalu sering berada dalam hiruk pikuk lalu lintas, stress di jalan tidak akan atau sedikit memiliki koneksi dengan lingkungan.
  3. Berbelanjalah di toko lokal dan makan makanan lokal. Secara ekonomi, hal tersebut akan menghidupkan perekonomian di tempat tinggal kita sehingga akan berkontribusi besar terhadap pembangunan di daerah kita. Selain itu belanja dan makan makanan lokal akan meningkatkan keterikatan dengan daerah yang kita tinggali.
  4. Terlibatlah dalam komunitas-komunitas yang ada di lingkungan kita. Ada banyak komunitas biasanya di setiap daerah. Cobalah untuk ikut berpartisipasi di dalamnya entah itu terkait dengan olah raga, seni, lingkungan atau yang lainnya.
  5. Upayakan untuk dapat menciptakan lingkungan yang hijau. Mengapa? Riset menunjukkan ternyata aktivitas outdoor dan aktivitas di lingkungan hijau dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan kemampuan kognitif dan juga konsentrasi. Maka lingkungan yang lebih hijau dapat membuat kita lebih nyaman. Kita bisa terlibat dalam komunitas untuk membantu mewujudkan lingkungan yang lebih hijau atau kalau tak punya waktu dan tenaga bisa juga dengan sumbangan dana untuk lingkungan lebih hijau.
  6. Ingat di mana pun kita berada selalu ada hal-hal luar biasa yang bisa ditemukan dan selalu ada orang-orang luar biasa yang dapat dijumpai.
Selamat berbetah ria di mana pun berada ;)

Jumat, 09 September 2016

Boikot Wisata Pangandaran

Ada banyak cerita tentang masa-masa sekolah yang masih tersimpan di kepala, salah satunya tentang wisata ke Pangandaran. Saat itu saya duduk di penghujung kelas tiga. Tepatnya tinggal beberapa minggu meninggalkan sekolah, melepas seragam putih abu. Yeay... siap-siap jadi orang dewasa. (Padahal kalau bisa kembali, saya mau lho...balik lagi jadi remaja atau bahkan anak-anak :) )

Seperti umumnya di banyak sekolah, setelah selesai ujian akhir dan pengumuman kelulusan biasanya diadakan acara pelepasan, yaaa... biasanya pesta kecil gitu tapi cukup meriah dan berkesan. Naaah... saat itu acara perpisahan direncanakan akan dilaksanakan di Pangandaran. Ya, sekalian berwisata. Kegiatannya sendiri dirancang oleh para guru dan OSIS. Saya sendiri kurang tahu, selain karena pengurus OSIS itu kelas 2, saya pun tidak menjadi pengurus OSIS di SMA. Bagi saya saat itu, menjadi pengurus ROHIS, KIR, Keputerian sekolah plus karang taruna di rumah sudah cukup menguras tenaga.

Kembali lagi soal Pangandaran. Biaya untuk pergi ke Pangandaran belum tercakup dalam SPP sehingga para siswa memang harus mengeluarkan dana lebih. Mendengar kata pantai, sebenarnya saya sebagai orang gunung cukup antusias. Hanya saja dari obrolan beberapa teman ROHIS, tidak ikut mungkin lebih baik. Ada beberapa alasan, diantaranya berempati kepada teman-teman yang tidak bisa membayar. Semacam solidaritas gitu lah. Selain itu ada juga kabar dari beberapa alumni bahwa acara seperti itu lebih banyak hura-huranya bahkan tak sedikit perempuan berjilbab baik siswa maupun guru tak malu lepas jilbab disana. Saat itu saya dan teman-teman menilai tak banyak manfaatnya. Demi sebuah idealisme saya rela enggak ikut piknik waktu itu hihi....

Entah bagaimana ceritanya, kabar bahwa anak-anak ROHIS akan memboikot acara perpisahan di Pangandaran sampai ke telinga para guru. Buntutnya saya bersama para mantan pengurus inti ROHIS dipanggil guru agama. Beliau menanyakan ihwal pemboikotan. Bukan pemboikotan sebenarnya, kami hanya berencana tidak ikut, namun karena setiap kami punya banyak teman sehingga kemungkinan teman-teman kami pun mengikuti langkah kami.

Masih terngiang di telinga saya saat Bu Guru bertanya, "Apa kalian pikir kita pergi ke sana hanya sekedar hura-hura? enggak... di sana kita bisa melakukan tadabur alam" "Kalian ini ikut aliran apa sih?" Aliran? hanya aliran darah yang saat itu selalu ada dalam tubuh kami. Saya utarakan kekhawatiran-kekhawatiran yang menggelayuti pikiran kami. Bu Guru meyakinkan bahwa hal-hal yang kami takutkan akan diupayakan dieliminasi. Bahkan, katanya hasil rapat para guru saya harus menyampaikan pidato perpisahan perwakilan siswa dalam acara tersebut. Maka, bagaimana pun saya harus ikut.

Demi menghormati para guru dan sekolah, akhirnya diputuskan bagi siapa saja yang bisa berangkat sebaiknya berangkat namun bagi yang terkendala biaya tak usah memaksakan.  Kalaupun ada hal-hal seperti yang dikhawatirkan, jangan sampai terbawa. Bukankah perahu tenggelam bukan karena air di lautan melainkan ada air yang merembes ke dalam perahu yang bocor?

Akhirnya, hari keberangkatan pun tiba. Karena sebelum pukul enam harus sudah berkumpul di sekolah, ba'da shubuh saya berangkat menggunakan angkot hingga perempatan jalan menuju sekolah disambung ojeg menuju sekolah. Sekitar sepuluh meter menuju gerbang sekolah, di jalan yang datar saya terjatuh dari ojeg. Antara sadar dan tidak sadar saya mendengar suara seorang guru dan tangis sahabat saya, "Pokoknya saya gak ikut kalau Nurul gak ikut". Tak banyak yang saya ingat di hari itu, selain akhirnya saya di bawa oleh Bapak (Alm.) ke Rumah Sakit untuk diperiksa dan foto rontgent kepala. Alhamdulillah... tak ada luka yang cukup serius, tangan dan kaki aman meski pakaian robek. Yang agak serius luka di pipi dan kepala padahal saat itu saya mengenakan kerudung cukup tebal. 
Ah...Pangandaran. Saat itu mungkin kita belum berjodoh...

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan  #1minggu1cerita dengan tema "Aku dan Sekolahku"

Senin, 22 Agustus 2016

Cinta pada-Mu

Pada-Mu cinta berbalas selalu
Harap pada-Mu tak perlu terucap selalu
Karena Kau pahami dalamnya hatiku
lebih dari aku
Bagi-Mu peluh bermakna selalu
Di hadapan-Mu rapuh tak berpalsu tangguh
Hanya pada-Mu berlabuh hatiku

Rabu, 17 Agustus 2016

Mencari Hijab di Hijab Swimming Pool

Sobat, pernah jalan-jalan ke Lembang? Lembang memang penuh dengan tempat wisata hingga tak heran jika tiap akhir pekan macet hingga ke gang-gang. Ups, bukan ini sebenarnya yang ingin saya ceritakan. Ada tempat untuk mengisi waktu santai baru di Lembang, namanya "Hijab Swimming Pool". Sebagai emak-emak berjilbab saya sangat tertarik dengan tempat tersebut sejak jauh-jauh hari sebelum tempat tersebut dibuka, sejak terpampang tulisan "Akan dibangun Hijab Swimming Pool". Ditambah lagi bisa sambil ngasuh anak saya yang hobinya main air.
Gerbang Masuk
Gayung bersambut, ternyata ada promo diskon 50% tiket masuk hingga 14 Agustus kemarin. Akhirnya di hari jum'at  ba'da ashar saya mengajak si anak semata wayang untuk mengunjungi tempat tersebut. Sengaja tidak memilih sabtu atau minggu karena khawatir penuh. Nanti yang ada malah stress bukannya fresh. Segala perlengkapan berenang sudah disiapkan meski saya hanya bisa meluncur plus gaya batu (para perenang profesional pasti gak tahu kan gaya batu? hihi...)
Loket masuk kolam renang
Saat memasuki lokasi, ternyata kami harus membayar tiket masuk area Floating Market terlebih dahulu sebesar dua puluh ribu per orang yang nanti bisa ditukar dengan minuman. Hmmm... belum berenang sudah bayar nih, lain kali mending sekalian berkeliling eksplor floating. Ups, apa gak bosen? Ya, sudahlah demi Hijab Swimming Pool. Kami memasuki area kolam renang dengan terlebih dahulu membayar  tiket masuk kolam renang lima puluh ribu untuk berdua berhubung masih diskon 50%. Di pintu masuk kolam renang tertera tulisan "Wajib memakai pakaian renang". Penjaga pintu kolam mengingatkan "Wajib mengenakan pakaian renang ya Bu!" saya membalasnya hanya dengan senyum dan anggukan kepala. Halooo.... terima kasih sudah mengingatkan meski saya sudah baca. Masuk kolam renang gak mungkin pake mukena lah.... Oya, bagi yang tidak membawa pakaian renang bisa membeli di toko depan tempat tiket kolam. (Ngendorse tanpa dibayar lho saya :) )




Area kolam cukup bersih dengan pemandangan Lembang yang oke punya. Kolam terbentang sekitar 10 x 200 meter (gak yakin juga sih soal ukuran, hanya memperkirakan saja). Kolam renang anak sedalam 60 cm dan kolam dewasa sedalam 120-140 cm tersambung dan dipisahkan penghalang dari stainles. Air hangat yang tertulis di spanduk di depan tidak begitu terasa di kolam, entah memang kurang hangat atau kalah oleh dinginnya Lembang. Menurut saya sih lebih hangat di kolam renang Sampoerna yang ada di Jl. Sersan Bajuri.

Di depan kolam renang tertata meja-meja dan kursi tempat orang bercengkrama ditambah dipan-dipan untuk berjemur seperti di tepi pantai. Tersedia tempat penitipan barang bagi yang ingin barangnya aman. Untuk yang tidak membawa handuk? ada penyewaan juga. Tersedia pula pelampung yang bisa disewa seharga lima puluh ribu untuk yang berukuran L. Makanan? tentu saja ada, tak lupa tulisan "Dilarang membawa makanan dan minuman dari luar". Oya, bagi penyuka selfie, salah satu dinding sengaja didekorasi dengan pemandangan pantai.

Nah lho, dari tadi belum cerita hijab ya. Dalam bayangan saya, kolam renang ini dibagi menjadi dua bagian, terpisah antara laki-laki dan perempuan. Adapun anak-anak yang belum baligh bisa ikut lah ke mana aja. Saya mencoba mengeksplor seluruh isi kolam renang. Apa yang saya temukan sudah saya tulis di atas. Lalu mana hijabnya? Saking penasaran akhirnya saya menanyakannya kepada salah seorang penjaga kolam. Ternyataaa.... masih dibangun saudara-saudara... Katanya sih sudah dibangun tapi bocor, jadi harus diperbaiki kembali. Jadi.... "Hijab Swimming Pool"nya kapan-kapan aja ya...

Selasa, 07 Juni 2016

Distrust Culture

Ada kejadian yang membuat malu saat beberapa waktu lalu saya bersama seorang teman mengajak dua orang volunteer asal Amerika berkunjung ke sebuah objek wisata. Di tempat tersebut terdapat toko oleh-oleh. Tamu kami, volunteer asal California bermaksud membeli gelang untuk pacarnya. Singkat cerita dia membayarnya dikasir seharga tiga puluh ribu rupiah. Sambil menunggu saya yang sedang memilih-milih barang, rupanya dia tertarik dengan barang lain seharga lima puluh ribu rupiah. Ia pun menghampiri kasir kemudian menjelaskan bahwa ia ingin menukar barangnya. Sang kasir terdiam, kemudian saya jelaskan bahwa teman saya tersebut ingin mengembalikan barang yang tadi dan mengganti dengan yang baru dan tentu saja akan membayar kekurangannya. Tapi ternyata tidak bisa, kalau dia mau yang baru berarti dia harus membeli keduanya. Ia bertanya lagi kepada saya dan saya tanya lagi kasir, "SUDAH ATURANNYA BEGITU" kata sang kasir. Entah memang begitu atau kasir tak mau repot cancel transaksi. Akhirnya ia tak jadi membeli barang baru tersebut sambil berucap "Strange rule!". Nampaknya dia kecewa namun saya tak bisa berucap apa-apa lagi. Untunglah dia terhibur dengan panorama alam objek wisata tersebut.

Sebulan sudah berlalu namun kejadian itu masih saja terekam di kepala. Aturan yang menurut teman tersebut aneh, kok rasanya terasa biasa bagi saya. "Barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan" rasanya adalah hal yang lumrah saya temui. Hari ini saya tebak jawabannya. Dasar dari transaksi kita adalah budaya tidak percaya (distrust culture), menaruh curiga lebih dulu. Pedagang khawatir jika pembeli mengembalikan barang, barang tersebut telah "diapa-apakan"  oleh sang pembeli. Memang mungkin ada pula pembeli yang nakal melakukan itu. Tapi, dalam kasus teman saya, barang yang dibeli baru beberapa menit saja. Pantas saja dia mengatakan aneh karena ternyata di negaranya jika seseorang membeli barang dan esoknya dikembalikan dengan alasan tidak suka itu bisa. Pedagang dan pembeli keduanya saling percaya.

Nampaknya rasa saling percaya perlu dibudayakan dalam masyarakat kita. Tidak mudah memang membangun trust culture ini di tengah maraknya kasus-kasus penipuan dalam dunia jual beli semisal yang terjadi dalam sebagian jual-beli online dimana penjual menipu dengan tidak mengirim barang atau pembeli tidak membayar atau sekedar iseng saat memesan barang COD meski banyak juga ya penjual maupun pembeli yang jujur :). Ya, membangun trust culture memang tidak mudah namun masing-masing kita bisa melakukannya saat kita bertransaksi dengan berupaya menjaga kepercayaan yang diberikan orang kepada kita. Mari bangun trust culture agar Indonesia yang indah ini semaaakin indah.

Minggu, 29 Mei 2016

Wawancara Pelatihan SEAMEO QITEP IN SCIENCE

Sekitar empat hari yang lalu, aku dapat telpon dari SEAMEO QITEP in SCIENCE mengabarkan bahwa aku lolos tahap administratif untuk mengikuti Environmental Education for Sustainable Development, dan dijadwalkan interview by phone hari senin kemarin. Sampai ditelpon begini pasalnya aku daftar salah satu pelatihan SEAQIS ini. Tiap tahunnya SEAQIS rutin mengadakan pelatihan bagi guru-guru, Kepala Sekolah dan Pengawas dari Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara. Lengkapnya bisa dicek disini. Aku sendiri memilih EESD soalnya gereget banget ingin memperbaiki kondisi lingkungan dan perilaku pelajar terhadap lingkungan. Untuk ikut pelatihan ini cukup mendaftar dengan mengisi biodata, mengunggah Motivation Letter dan kalau ada bukti kecakapan Bahasa Inggris. Waktu daftar aku pakai skor ITP TOEFL.

Balik lagi soal interview. Sebelum hari H, aku googling biar ada bayangan, tapi enggak nemu. Ya, sudahlah, siapkan diri dan HP saja, jangan sampai jauhan. Kalau-kalau ada telpon untuk interview. Saat HP berdering aku berada agak jauh dari meja kerja, padahal HP sedang dicharge di meja. Saat kuangkat, ternyata sudah ditutup. Aku bergegas ke luar ruangan yang lagi ramai mencari tempat yang agak sepi. Lalu aku telpon balik. Benar saja ternyata interview dari SEAQIS. Bu Fatmia dari SEAQIS memberikan prolog dalam Bahasa Indonesia bahwa wawancara akan dilakukan dalam bahasa Inggris. Wawancara plus prolog hanya memakan waktu 4 menit 39 detik. Topik-topik wawancara yang aku ingat kurang lebih seperti ini:
1. Nama, Institusi, Latar Belakang Pendidikan
2. Motivasi mengikuti Training
3. Apa yang akan dilakukan pasca Training
4. Kemungkinan mengikuti pelatihan full 10 hari
5. Problem lingkungan yang ditemukan di sekolah
6. Keterlibatan dalam program lingkungan di Sekolah
7. Pernah/tidak mengikuti training SEAQIS

Hasilnya? Wallahu'alam. Kalau rejeki insya Allah terpanggil. Tapi kalau tidak, ya tak apa. Yang penting terus berjuang dalam pendidikan lingkungan.

Senin, 23 Mei 2016

Belajar Bicara Lewat Seminar

“Dari mana?” tanya seorang dosen UNY bersama rekannya dalam lift. “Dari Bandung Bu” jawabku singkat. “Ooh… Bandung. UPI toh?” Ehemm…. Kalau urusan Teacher Education kayaknya almamaterku ini cukup terkenal di Indonesia. Aku jelaskan bahwa aku memang alumni UPI namun hadir di Conference ini sebagai guru SMA.

Saat memasuki tempat registrasi kucari namaku di daftar presenter. Hmm… kebanyakan ternyata mewakili Universitas, beberapa dari LPMP atau Badan Penelitian. Ahey…. Aku satu-satunya dari SMA? Kayaknya di Conference ini guru adalah manusia langka. Yang dibahas adalah tentang pendidikan guru dan peningkatan profesionalisme guru. Saat orang membicarakan guru, rasanya tertuju padaku, hihihi…. Ge eR. Ketika ada yang mengungkap kasus guru yang kurang professional, aih…. Pengen teriak “Tidak semua begitu!”, meski kusadari sebagai guru masih punya banyak kekurangan.

Setelah plenary session yang diisi para expert dari berbagai universitas berbagai belahan bumi seperti Indonesia, China, Australia, Amerika dan Finlandia, acara dilanjutkan dengan sesi parallel dimana para presenter menyampaikan hasil kajian masing-masing. Aku mendapat giliran hari ke-2. Di hari pertama kuputuskan masuk ke ruangan yang penelitiannya agak berbau Science Education. Ku dengar para presenter ngobrol untuk menyampaikan presentasi dalam bahasa Indonesia saja. Aha… International Conference enggak harus pake Bahasa Inggris toh? Tiba-tiba masuklah Profesor dari University of Minnesota dan duduk tepat di sebelah ku. Waduh? Jadi beneran harus pakai bahasa Inggris nih? Karena tidak semua orang faham bahasa Indonesia. Let see…


Malam kedua tidurku jadi enggak nyenyak memikirkan harus presentasi dalam bahasa Inggris khawatir Profesor Amrik itu masuk ke ruanganku pasalnya kemarin dia menanyakan ihwal giliranku. Jadwal sesi parallel pun tiba, di jadwal aku kebagian no 8. Dalam ruangan semuanya dari Indonesia, Profesor US itu pun tak ada, mungkin kemarin dia hanya basa-basi saja menanyakan presentasiku . Ahh…. Sedikit lega, berarti bisa berIndonesia ria. Tiba-tiba duduk di sebelahku seorang peserta dari Scotland yang bekerja di Myanmar duduk di sebelahku disusul orang-orang berkulit putih lainnya termasuk Profesor US itu. O…M…G…N…A (Oh… My Gusti Nu Agung). Jadi beneran nih harus pake bahasa Inggris? Ok… harus nekad. Belum pernah ada cerita orang meninggal gara-gara presentasi in English. Meninggal ya karena dicabut nyawa.

Enam presenter yang kebanyakan dari jurusan bahasa inggris dalam dua termin nyerocos dengan bahasa Inggris lancar. Karena salah satu presenter tak hadir maka aku mendapat giliran pertama di termin III disusul dua orang dosen dari Uni apa aku lupa. Di awal aku perkenalkan diri bahwa aku bukan dari jurusan Bahasa Inggris jadi harap maklum kalau bahasa Inggrisku kurang intelegible. Saat presentasi fokusku adalah menjelaskan kajianku, tak terasa waktu mengalir sampai panitia mengingatkan bahwa waktuku tinggal 2 menit lagi sehingga sedikit ku percepat. Eh… ternyata hidupku tak berakhir di presentasi. Hihi… maklum pemula.

Dua dosen penyaji kemudian menyampaikan presentasi dalam bahasa Indonesia. Eeh… ternyata boleh? Tapi aku bersyukur dapat giliran pertama sehingga memaksakan diri cas-cis-cus presentasi. Peserta dari Scotland mengapresiasi daan Prof US itu bilang kalau aku tak perlu minta maaf soal bahasa Inggrisku katanya sudah ok. Apresiasi mereka memotivasi banget. Alhamdulillah… ketemu orang-orang positif. Biar pun sempat bikin deg-degan jadi ketagihan ikut beginian lagi :).

Kamis, 24 Maret 2016

Aturan Penulisan Daftar Pustaka

Diantara cara penulisan kutipan dan daftar pustaka yang banyak dipakai  dan diterima secara luas adalah aturan menurut APA (The American Psychological Association). Berikut aturan pengutipan menurut APA,

1. Jurnal, Majalah dan Koran dalam Bentuk Cetak 

Bentuk Umum :
Penulis, A. A., Penulis, B.B., & Penulis, C. C. (Tahun). Judul Artikel. Judul Jurnal, xx, xxx-xxx.

Judul jurnal dan nomor volume ditulis miring. Nomor tema/issue tidak perlu ditulis jika jurnal menggunakan   halaman bersambung. Bila diberi halaman per tema maka nomor tema/issue perlu ditulis di dalam kurung dekat nomor volume.

Satu Penulis :
Williams, J. H. (2008). Employee engagement: Improving participation in safety. Professional Safety, 53(12), 40-45.

Dua sampai tujuh penulis :
Keller, T. E., Cusick, G. R., & Courtney, M. E. (2007). Approaching the transition to adulthood: Distinctive profiles of adolescents aging out of the child welfare system. Social Services Review, 81, 453-484.

Delapan atau lebih penulis :
Wolchik, S. A., West, S. G., Sandler, I. N., Tein, J.-Y., Coatsworth, D., Lengua, L.,...Griffin, W. A. (2000). An experimental evaluation of theory-based mother and mother-child programs for children of divorce. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 68, 843-856.

Artikel majalah :
Mathews, J., Berrett, D., & Brillman, D. (2005, May 16). Other winning equations. Newsweek, 145(20), 58-59. 

Artikel koran tanpa penulis dengan halaman tidak bersambung :
Generic Prozac debuts. (2001, August 3). The Washington Post, pp. E1, E4.

2. Buku, Bab dalam Buku, Laporan, dsb.

Bentuk umum :
Penulis, A. A. (Tahun). Judul. Lokasi: Penerbit.

Satu penulis :
Alexie, S. (1992). The business of fancydancing: Stories and poems. Brooklyn, NY: Hang Loose Press.
 
Penulis korporasi dengan suatu edisi dan diterbitkan oleh penulis korporasi :
American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4th ed.). Washington, DC: Penulis.
 
Penulis Anonim
Dorland’s illustrated medical dictionary (31st ed.). (2007). Philadelphia, PA: Saunders.
 
Bab dalam buku :
Booth-LaForce, C., & Kerns, K. A. (2009). Child-parent attachment relationships, peer relationships, and peer-group functioning. In K. H. Rubin, W. M. Bukowski, & B. Laursen (Eds.), Handbook of peer
interactions, relationships, and groups
(pp. 490-507). New York, NY: Guilford Press.
 
Dokumen ERIC :
Shyyan, V., Thurlow, M., & Liu, K. (2005). Student perceptions of instructional strategies: Voices of English language learners with disabilities. Minneapolis, MN: National Center on Educational Outcomes, University of Minnesota. Retrieved from the ERIC database.(ED495903)


3. Jurnal, Majalah, Koran Daring (Online)

Format umum :
Penulis, A. A., Penulis, B. B., & Penulis, C. C. (Tahun). Judul Artikel. Nama Jurnal , xx, xxx-xxx. doi:xxxxxxxxxx

Artikel yang diambil dari database daring:

Tuliskan DOI artikel (Digital Object Identifier) yaitu kode unik dari penerbit untuk artikel tertentu.
 
Senior, B., & Swailes, S. (2007). Inside management teams: Developing a teamwork survey instrument. British Journal of Management, 18, 138-153. doi:10.1111/j.1467-8551.2006.00507.x
 
Bila tidak ada DOI maka tuliskan URL nya.  

Koo, D. J., Chitwoode, D. D., & Sanchez, J. (2008). Violent victimization and the routine activities/lifestyle of active drug users. Journal of Drug Issues, 38, 1105-1137. Diambil dari http://www2.criminology.fsu.edu/~jdi/
 
Artikel dari majalah daring :
Lodewijkx, H. F. M. (2001, May 23). Individual-group continuity in cooperation and competition under varying communication conditions.Current Issues in Social Psychology, 6(12), 166-182. Diambil dari http://www.uiowa.edu/~grpproc/crisp/crisp.6.12.htm

4. Sumber Daring Lainnya

Format Umum :
Author, A. A. (Year). Judul. Retrieved from web address
 
Laporan online dari NGO 
Kenney, G. M., Cook, A., & Pelletier, J. (2009). Prospects for reducing uninsured rates among children: How much can premium assistance programs help? Retrieved from Urban Institute website: http://www.urban.org/url.cfm?ID=411823
 
Laporan online tanpa penulis dan tanggal (No Date) :
GVU's 10th WWW user survey. (n.d.). Retrieved from http://www.cc.gatech.edu/user_surveys/survey-1998-10/

Web site dalam  kutipan kurung : untuk mengutip keseluruhan web site bukan dokumen tertentu maka cukup menuliskan URL dalam teks. Tidak perlu ditulis dalam daftar pustaka. Contoh :

Kidpsych is an excellent website for young children (http://www.kidpsych.org).

Sumber : 
APA Format 6th Edition. (n.d).  Retrieved from http://web.calstatela.edu/library/guides/3apa.pdf


Sabtu, 12 Maret 2016

Gara-gara Pulpen

Saat duduk di bangku sekolah, biologi adalah pelajaran yang paling tidak saya sukai dari semua pelajaran IPA. Nilai biologi di kelas 1 dan 2 SMA bahkan paling rendah dibanding mata pelajaran IPA lainnya. Tak suka biologi gara-gara banyak istilah yang bikin kepala pusing.

Menginjak kelas 3, guru biologi saya pergi ke Bangkok selama seminggu. Sepulangnya dari Bangkok beliau memperlihatkan sebuah pulpen warna toska dengan gambar kartun bertebaran dan ujung pulpen warna emas, sayang tak ada fotonya karena belum musim kamera. "Waaah.....itu beli di Bangkok Bu?" tanya banyak siswa. Saat itu segala sesuatu berbau luar negeri rasanya keren (hehe.... nasionalisme mana nasionalisme). Beliau menyampaikan bahwa beliau hanya satu membeli pulpen tersebut dan hanya akan beliau berikan kepada peraih nilai Biologi tertinggi sesekolah di Ujian Nasional (EBTANAS).

Pulpen yang diperlihatkan Bu Guru selalu terbayang dalam pikiran saya. Kalau mau pulpen seperti itu dan membeli sendiri berapa banyak uang yang harus saya keluarkan padahal untuk ongkos sekolah saja harus berhemat. Maka tak ada cara lain untuk belajar keras supaya mendapat nilai tertinggi di Ujian Nasional. Demi meraih pulpen saya rela berlama-lama belajar biologi dan akhirnya bisa bersahabat dengan biologi.

Pengumuman nilai akhirnya tiba. Hati dagdigdug antara cemas dan harap. Saya pasrah kalau rejeki pulpen toska itu akan jadi milik saya tapi kalau bukan ya sudahlah. Daan....pulpen toska itu.... akhirnya jadi milik saya, alhamdulillah. Pulpen toska itu saya pamerkan kepada ketiga adik saya. Rasanya banggaaa sekali.

Ketika almarhum Bapak menyarankan saya masuk jurusan biologi saya ikuti karena saya sudah bersahabat dengan biologi diantaranya. Setelah pengumuman hasil seleksi masuk PTN saya bersiap-siap membeli alat-alat tulis untuk kuliah. Saya pergi ke sebuah toko buku. Buku-buku, pulpen, pensil dan berbagai ATK berjejer rapi. Mata saya menjelajah sekeliling toko. Hei.... ada barang yang saya kenal sepertinya. Ya, saya kenal persis. Oh.... pulpen toska itu sangat mirip dengan pulpen hadiah dari bu guru. 

Penuh penasaran, saya menanyakan harga pulpen tersebut. Pulpen tersebut harganya Rp 1.500,-  mungkin seharga tiga ribu rupiah kalau saat ini mengingat kurs dollar US saat itu sekitar Rp 7.000. Apa? perjuangan saya untuk bisa bersahabat dengan biologi dihargai seribu lima ratus saja? Tapi.... bisa saja benar bu guru membeli pulpen itu di Bangkok, tambah ongkos jadi berapa hayo? Daan... yang lebih penting lagi sebenarnya adalah bukan masalah harga. Perjuangan tak selalu harus dihargai dengan barang atau uang. Bukankah gara-gara tantangan dari Ibu Guru tersebut saya jadi bersahabat dengan biologi? Terima kasih guru biologiku.

Kamis, 10 Maret 2016

Emak Zero Waste Bukan Alien Lagi

Dulu rasanya sudah tunai kewajiban saat membuang sampah pada tempatnya. Rasanya sudah tidak punya utang terhadap lingkungan. Sampai suatu waktu saya mengikuti kegiatan di YPBB sekitar tahun 2009 dan mendengar pecakapan dua orang anak saat menunggu acara dimulai. "Iih.... kamu jangan banyak-banyak pakai plastik! Mengotori lingkungan tahu!" ujar seorang anak kepada temannya yang membawa bekal dalam plastik. "Santai aja! Aku pasti buang di tempatnya" jawab temannya yakin. "Yeah... memangnya kalau dibuang di tempatnya bisa langsung hilang? Enggak dong!" timpal sang anak. 

Saya kemudian berpikir betapa selama ini telah banyak mengotori lingkungan. Ya, benar saya selalu membuang sampah pada tempatnya tapi nasib sampah itu kemudian tidak saya pikirkan. Kuliah di jurusan Biologi ternyata belum menyadarkan saya untuk berbuat banyak terhadap lingkungan bahkan selama ini malah menambah beban terhadap lingkungan. Saya memilah sampah organik dan anorganik di rumah namun setelah sampai di truk sampah yang datang sepekan sekali ternyata dicampur begitu saja oleh petugas kebersihan. Terbayang mungkin nantinya sampah tersebut dibakar di TPA, ups... pembakaran yang tidak sempurna bisa menghasilkan gas-gas berbahaya ditambah lagi bila sampah organik dan anorganik digabung bisa tambah parah menghasilkan dioksin (sejenis racun) lalu kalau ada orang yang sakit gara-gara sampah yang saya produksi bagaimana pertanggungjawaban saya di akhirat kelak. Duuuh.... Gustiiii.... 

Akhirnya mulailah saya mengolah sampah organik sendiri di rumah menjadi kompos dan komposnya digunakan untuk tanaman. Yeay... sambil menyelam minum air. Selain itu saya juga berupaya menggunakan plastik sekali pakai seminim mungkin. Belum bisa sampai zero sih, tapi lumayan lah. 

Dalam rangka berzero-waste saya membawa misting dan reusable bag saat pergi ke pasar atau swalayan. Di awal-awal berzerowaste, rasanya seperti Alien yang jadi pusat perhatian kalau lagi di pasar plus berasa jadi artis karena banyak ditanya sama pedagang. Suatu waktu saat saya menyodorkan misting ke tukang daging ayam dan meminta untuk tidak dibungkus plastik, sang pedagang malah bilang "Kenapa Neng enggak mau pakai plastik? Plastiknya gratis kok!". "Saya ingin daging ayamnya yang gratis Mang" timpal saya. 

Awal-awal rasanya capek tiap belanja saya harus bilang "Jangan pakai plastik! Saya bawa wadah sendiri" dan menjelaskan bahwa saya tak mau banyak sampah. Beberapa orang malah berujar " Susah buangnya ya? kalau saya suka dibuang ke selokan besar sambil pergi ke pasar". Haduuuuh.... tambah pusing pala ebi, enggak mungkin kan kalau saya bahas panjang lebar tentang 3R. Tapi lama-lama para pedagang langganan sudah hafal kebiasaan saya dan malah berkampanye ke pembeli lainnya "Coba para pembeli kayak si Neng ini, bawa wadah sendiri. Kami tak perlu mengeluarkan modal tambahan untuk membeli plastik. Yang lainnya bilang " Neng, sekarang di swalayan kantong plastik harus dibeli ya? berarti pemerintah sepikiran ya sama si Neng enggak mau banyak sampah. Coba para pembeli bawa wadah sendiri, kan Indonesia bisa bersih". Hmmm.....Alhamdulillah.... akhirnya komentar-komentar positif meluncur. 

Jauh sebelum diberlakukan kantong plastik berbayar saya sudah membawa kantong sendiri dari rumah, bahkan di dalam tas selalu nyempil foldable bag untuk jaga-jaga kalau dibutuhkan. Dulu saat saya menyodorkan kantong ke kasir, banyak orang memandang heran atau mungkin saya yang ke-GeeR-an hehe... Kini dengan diberlakukannya kantong plastik berbayar plus tulisan bahwa hal tersebut untuk menjaga lingkungan, saya tak lagi merasa seperti alien. Di swalayan terdekat saya melihat beberapa ibu juga mulai membawa kantong sendiri meskipun kebanyakan masih menggunakan kantong plastik dari swalayan mengingat harga kantong plastik sangat murah,hanya Rp 200,- saja di swalayan terdekat.

Kamis, 25 Februari 2016

Hidup Tanpa TV

Sudah bertahun-tahun televisi menjadi teman setia dalam keluarga kecil kami. Saat sendiri biasanya TV menemani.Namun gara-gara TV pula saya merasa jadi orang paling bawel di rumah terutama malam dan pagi hari. Saat menyuruh anak untuk ngaji dan sholat, seringnya anak saya akan menunggu iklan terlebih dahulu. Begitu pun di pagi hari, persiapan berangkat sekolah terasa sangat lamban karena sambil menonton TV. 

Hmmm.... saya harus bertindak. Memang seharusnya kita yang mengendalikan TV toh dia adalah barang, tapi kenyataannya sulit sekali bagi saya sekeluarga. Kadang ada kekhawatiran dalam diri terkait tontonan yang dilihat anak karena tidak terkontrol sepenuhnya misalnya saat memasak di dapur. Akhirnya saya dan suami membuat keputusan untuk menghentikan langganan TV kabel dan tidak menggantinya dengan antena apa pun. Kami masih bisa menonton TV kalau ada DVD. Hampir tiga bulan ini kami jarang menonton TV. 

Penyedia layanan TV kabel sudah menelpon berulang kali dan menawarkan promo-promo yang cukup menggiurkan. Tapi sudahlah, kami sudah cukup nyaman hidup tanpa TV. Awalnya anak kami merengek untuk dibelikan antena TV kalau tidak ada TV kabel. Namun seiring berjalannya waktu, dia mulai terbiasa. Ba'da maghrib setelah mengaji biasanya dia menonton TV sendiri sementara ayahnya belum pulang dan saya memasak di dapur. Sekarang karena tak ada TV biasanya dia duduk di dapur melihat saya memasak sambil meminta bermain tebak-tebakan. Kami merasa sangat dekat sekarang. Lepas isya yang biasanya juga digunakan untuk menonton televisi kini dia gunakan untuk membaca atau bermain teka-teki. Tapi konsekwensinya saya atau suami harus mau menemani dia membaca atau bermain. Tak apalah agar kami menjadi sahabatnya dari pada kedudukan kami di hatinya digantikan oleh TV. Saat ada TV sulit sekali anak disuruh tidur lebih awal sehingga sulit pula saat dibangunkan. Sekarang Alhamdulillah,dia lebih mudah tidur awal. Saya tak menyangka ternyata kami bisa hidup tanpa TV.

Jumat, 19 Februari 2016

Jangan Jadi Guru

Waktu kecil ketika pertama kali ditanya tentang cita-cita, saya ingin menjadi insinyur pertanian mungkin karena ayah yang bekerja di sebuah balai di bawah departemen pertanian sering menceritakan para peneliti yang bagi saya sangat luar biasa. Beberapa tahun kemudian datang sekelompok mahasiswa IAIN (sekarang UIN) yang melaksanakan KKN di kampung saya dan salah satu kegiatannya adalah mengajar anak-anak di balai RW. Saya pun berbelok, menjadi guru nampaknya mengasyikan. 
 
Cita-cita menjadi guru terpatri dalam benak hingga memasuki bangku SMA. Saat itu ada kabar bahwa di Indonesia dokter spesialis obgin masih sedikit perempuan. Munculah keinginan untuk menjadi dokter dengan pemikiran bahwa mungkin para wanita akan lebih nyaman diperiksa oleh dokter wanita. Keinginan semakin kuat manakala entah kenapa saya berpikiran bahwa menjadi guru akan sangat membosankan, statis karena setiap tahun mengajarkan hal yang sama kepada murid, sehingga tak diperlukan belajar. 
 
Keinginan menjadi dokter saya sampaikan kepada ayah dan ditolak dengan alasan beliau tak akan sanggup membiayai. Informasi mengenai beasiswa pun tak saya dapatkan saat itu. Internet baru saya kenal saat SMA. Ayah menyarankan saya untuk mengambil keguruan saja, biayanya murah universitasnya juga tidak terlalu jauh dari rumah dan cocok sekali untuk perempuan karena jam dua belas biasanya sudah pulang sehingga tetap bisa mengurus rumah (:)). Ayah menyarankan untuk mengambil pendidikan biologi agar sedikit nyambung dengan keinginan saat kecil menjadi insinyur pertanian dan juga kedokteran. 
 
Saya memilih mengikuti keinginan ayah, kapan lagi menyenangkan orang tua terlebih menjadi guru adalah cita-cita ayah saat kecil. Setelah yakin untuk mengambil keguruan, setiap gerak-gerik guru saya perhatikan untuk bekal saya di kemudian hari. Sempat seorang guru mengatakan, “Jangan jadi guru, gajinya kecil!” soal gaji saya kan perempuan berarti bukan yang utama pikir saya saat itu. Yang membuat saya galau adalah ketakutan akan kebosanan karena jumud tak berkembang toh guru mengajar itu-itu juga tiap tahunnya. 
 
Setelah menjadi guru, meski ternyata seringkali pulang sore bukannya jam dua belas saya sangat menikmati jalan ini. Meski demikian, saya sering galau tapi bukan karena ketidaksukaan saya terhadap profesi ini melainkan karena kecintaan saya yang sangat besar terhadap aktivitas menjadi guru. Siapa bilang guru itu statis, setiap tahun siswa berganti bahkan setiap hari masuk ke kelas yang berbeda-beda. 
 
Membosankan? Tentu saja tidak, hari-hari penuh dengan bahagia dan tawa meski terkadang air mata. Perlu selalu belajar untuk mengasah diri agar dapat bertindak tepat saat bertemu para siswa. Tak perlu belajar? Ah, kenyataannya tak begitu. Materi subjek yang kita ampu berkembang setiap saat maka jika tak belajar tentu saja akan ketinggalan zaman tentunya guru takkan rela membiarkan para siswa tertinggal di saat arus perkembangan zaman kian derasnya. Yang tak kalah pentingnya adalah cara mengajar. Kelas yang satu dengan kelas yang lainnya sering berbeda. Pernah di suatu kelas saya kebingungan untuk menunjuk siswa yang mana karena seluruh siswa mengacungkan tangan , di kelas yang lain kebingungan juga menunjuk karena tak ada satu pun yang mengangkat tangan. Kelas berbeda perlu strategi berbeda belum lagi siswa berbeda perlu penanganan berbeda pula maka guru harus senantiasa belajar cara mengajar. Saya adalah orang yang percaya bahwa setiap anak memiliki kecerdasan meski berbeda-beda bidangnya. Tugas guru adalah memfasilitasi siswa menemukan potensi uniknya. Saya tak menuntut setiap siswa harus memperoleh nilai sempurna dalam mata pelajaran saya tapi tetap menetapkan standar tertentu. Saat siswa tak dapat mencapainya terkadang saya merasa sedih, siswa mengalami kesulitan belajar jangan-jangan karena saya gurunya tak bisa menyesuaikan cara mengajar saya dengan gaya belajarnya. Aseli…. Saya takut mengindap penyakit yang disebut Amstrong PhD seperti dikutip Munif Chatib dalam bukunya “Sekolahnya Manusia” DISTEACHIA yaitu salah mengajar. Kepada anda yang masih berpikir untuk menjadi guru saya sarankan JANGAN JADI GURU jika tak mau terus belajar.

Selasa, 09 Februari 2016

Dr. Michael C. Ain (Kekurangan Melahirkan Kelebihan)

Setiap orang terlahir dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Banyak orang yang bahagia dan bersyukur atas kelebihannya kemudian mengoptimalkan kelebihannya untuk berkontribusi dalam kehidupan meski tak sedikit pula orang yang tak menyadari kelebihan yang dimilikinya sehingga dibiarkan tersia. Ada juga orang yang menjadi pongah atas kelebihan yang dimilikinya.

Dalam menyikapi kekurangan ternyata orang berbeda-beda pula. Ada orang yang sedih berlebihan atas kekurangan yang dimilikinya, menyalahkan takdir bahkan tak sedikit yang merasa rendah diri sehingga memutuskan untuk diam tak mau berkiprah untuk kesejahteraan manusia. Namun tak demikian halnya dengan Dr. Michael Craig Ain. Terlahir sebagai penderita Akandroplasia (suatu kelainan genetik terpaut kromosom  yang menyebabkan tubuhnya kerdil) tak membuat langkahnya surut untuk berkiprah. 

Sejak kecil Ain diajarkan oleh kedua orang tuanya untuk bekerja keras. Tak ada yang tak bisa ia capai jika bekerja keras. Pada saat gagal mencapai sesuatu jawabannya hanya satu: bekerja lebih keras lagi. Maka tak heran Ain mendapatkan nilai-nilai cemerlang di bangku sekolah. Namun, perjalanannya tak selalu berjalan mulus. Saat mendaftar kuliah kedokteran ia ditolak oleh sekitar tiga puluh universitas bukan karena kemampuannya namun hanya karena ia bertubuh setinggi 4 kaki 3 inchi atau sekitar 130 cm. Ia beristirahat selama satu tahun dengan mempelajari Sains di Brown kemudian kembali mendaftar sekolah kedokteran kembali dan diterima oleh Albany Medical College. Pada awalnya ia hanya diperbolehkan menggeluti pediatri (kedokteran anak) yang memungkinkan pasiennya tidak lebih besar dari padanya. Kegigihannya telah mengantarkan dirinya menjadi seorang ahli bedah meski tak jarang ia harus naik bangku saat melakukan operasi. Meski demikian, ia adalah seorang dokter yang disenangi pasiennya terutama anak-anak.
Foto: Campbell Biology Concepts and Connections

Kelainan gen telah menghentikan pertumbuhan lengan dan kakinya tapi tidak langkahnya untuk menggapai cita-cita. Kini ia bekerja sebagai dokter bedah ortopedi di Johns Hopkins Hospital  juga sebagai Associate Professor of Orthopedic Surgery dan Associate Professor Neurosurgery di Johns Hopkins  School of Medicine. Akrandroplasia nampaknya telah mengantarkan Ain pada bidang penelitian dysplasia, suatu kelainan tulang yang menyebabkan kekerdilan. Profil Dr. Ain dapat dilihat disini.

Selasa, 02 Februari 2016

Kelainan Terpaut Autosom Pada Manusia

Berikut merupakan kelainan pada manusia yang terpaut autosom:

Kelainan Terpaut Autosom Resesif 
  1. Albinisme. Ditandai dengan tidak adanya pigmen pada kulit, rambut, dan mata. Terdapat 1 penderita tiap 22.000. Penderita cenderung mudah terkena kanker kulit.
  2. Fibrosis Sistik. Ditandai dengan produksi mucus (lendir) yang berlebih pada paru-paru, saluran pencernaan, dan hati, suseptibilitas terhadap infeksi meningkat. Bila tidak ditangani sering menimbulkan kematian saat anak-anak. Satu  dari 2.500 orang ras kaukasia dilaporkan mengalami kelainan ini.
  3. Galaktosemia. Ditandai dengan akumulasi galaktosa pada jaringan, keterbelakangan mental serta kerusakan pada mata dan hati. Insiden terjadi sebanyak 1/100.000. Biasanya ditangani dengan pengurangan galaktosa dalam diet.
  4. Fenilketonuria (PKU). Ditandai dengan akumulasi fenilalanin dalam darah,pigmen kulit tidak normal dan keterbelakangan mental. Satu dari 10.000 orang di Amerika Serikat dan Eropa mengalami kelainan ini.
  5. Sickle-Cell. Sel darah merah berbentuk sabit, terjadi kerusakan beberapa organ. Dilaporkan terjadi pada satu dari empat ratus orang Afro-Amerika.
  6. Tay-Sach. Ditandai dengan akumulasi lemak pada sel-sel otak, keterbelakangan mental, kebutaan dan terjadi kematian di masa kecil. Dilaporkan satu dari 3.500 yahudi di Eropa tengah mengalami kelainan ini
Kelainan Terpaut Autosom Dominan
  1. Akondroplasia. Ditandai dengan tubuh yang kerdil. Insiden terjadi pada satu dari dua puluh lima ribu orang.
  2. Alzeimer (salah satu tipe). Ditandai dengan penurunan mental dan sering terjadi menjelang usia lanjut. Tipe Alzeimer yang diturunkan ini merupakan tipe Alzeimer yang jarang terjadi.
  3. Huntington. Ditandai dengan penurunan mental dan gerakan yang tidak terkontrol. Sering terjadi pada usia medium. Satu dari 25.000 orang mengalami penyakit ini. 
  4. Hiperkolesterolemia. Ditandai dengan berlebihnya kolesterol dalam darah dan bisa mengakibatkan serangan jantung. Insiden penyakit ini adalah sekitar 1/500.
Sumber :
Reece, Jane B, et all. 2012. Campbell Biology Concept and Conection Seventh Edition. Benjamin Cuming, San Francisco.