Kamis, 10 Maret 2016

Emak Zero Waste Bukan Alien Lagi

Dulu rasanya sudah tunai kewajiban saat membuang sampah pada tempatnya. Rasanya sudah tidak punya utang terhadap lingkungan. Sampai suatu waktu saya mengikuti kegiatan di YPBB sekitar tahun 2009 dan mendengar pecakapan dua orang anak saat menunggu acara dimulai. "Iih.... kamu jangan banyak-banyak pakai plastik! Mengotori lingkungan tahu!" ujar seorang anak kepada temannya yang membawa bekal dalam plastik. "Santai aja! Aku pasti buang di tempatnya" jawab temannya yakin. "Yeah... memangnya kalau dibuang di tempatnya bisa langsung hilang? Enggak dong!" timpal sang anak. 

Saya kemudian berpikir betapa selama ini telah banyak mengotori lingkungan. Ya, benar saya selalu membuang sampah pada tempatnya tapi nasib sampah itu kemudian tidak saya pikirkan. Kuliah di jurusan Biologi ternyata belum menyadarkan saya untuk berbuat banyak terhadap lingkungan bahkan selama ini malah menambah beban terhadap lingkungan. Saya memilah sampah organik dan anorganik di rumah namun setelah sampai di truk sampah yang datang sepekan sekali ternyata dicampur begitu saja oleh petugas kebersihan. Terbayang mungkin nantinya sampah tersebut dibakar di TPA, ups... pembakaran yang tidak sempurna bisa menghasilkan gas-gas berbahaya ditambah lagi bila sampah organik dan anorganik digabung bisa tambah parah menghasilkan dioksin (sejenis racun) lalu kalau ada orang yang sakit gara-gara sampah yang saya produksi bagaimana pertanggungjawaban saya di akhirat kelak. Duuuh.... Gustiiii.... 

Akhirnya mulailah saya mengolah sampah organik sendiri di rumah menjadi kompos dan komposnya digunakan untuk tanaman. Yeay... sambil menyelam minum air. Selain itu saya juga berupaya menggunakan plastik sekali pakai seminim mungkin. Belum bisa sampai zero sih, tapi lumayan lah. 

Dalam rangka berzero-waste saya membawa misting dan reusable bag saat pergi ke pasar atau swalayan. Di awal-awal berzerowaste, rasanya seperti Alien yang jadi pusat perhatian kalau lagi di pasar plus berasa jadi artis karena banyak ditanya sama pedagang. Suatu waktu saat saya menyodorkan misting ke tukang daging ayam dan meminta untuk tidak dibungkus plastik, sang pedagang malah bilang "Kenapa Neng enggak mau pakai plastik? Plastiknya gratis kok!". "Saya ingin daging ayamnya yang gratis Mang" timpal saya. 

Awal-awal rasanya capek tiap belanja saya harus bilang "Jangan pakai plastik! Saya bawa wadah sendiri" dan menjelaskan bahwa saya tak mau banyak sampah. Beberapa orang malah berujar " Susah buangnya ya? kalau saya suka dibuang ke selokan besar sambil pergi ke pasar". Haduuuuh.... tambah pusing pala ebi, enggak mungkin kan kalau saya bahas panjang lebar tentang 3R. Tapi lama-lama para pedagang langganan sudah hafal kebiasaan saya dan malah berkampanye ke pembeli lainnya "Coba para pembeli kayak si Neng ini, bawa wadah sendiri. Kami tak perlu mengeluarkan modal tambahan untuk membeli plastik. Yang lainnya bilang " Neng, sekarang di swalayan kantong plastik harus dibeli ya? berarti pemerintah sepikiran ya sama si Neng enggak mau banyak sampah. Coba para pembeli bawa wadah sendiri, kan Indonesia bisa bersih". Hmmm.....Alhamdulillah.... akhirnya komentar-komentar positif meluncur. 

Jauh sebelum diberlakukan kantong plastik berbayar saya sudah membawa kantong sendiri dari rumah, bahkan di dalam tas selalu nyempil foldable bag untuk jaga-jaga kalau dibutuhkan. Dulu saat saya menyodorkan kantong ke kasir, banyak orang memandang heran atau mungkin saya yang ke-GeeR-an hehe... Kini dengan diberlakukannya kantong plastik berbayar plus tulisan bahwa hal tersebut untuk menjaga lingkungan, saya tak lagi merasa seperti alien. Di swalayan terdekat saya melihat beberapa ibu juga mulai membawa kantong sendiri meskipun kebanyakan masih menggunakan kantong plastik dari swalayan mengingat harga kantong plastik sangat murah,hanya Rp 200,- saja di swalayan terdekat.

2 komentar: