Sabtu, 12 Maret 2016

Gara-gara Pulpen

Saat duduk di bangku sekolah, biologi adalah pelajaran yang paling tidak saya sukai dari semua pelajaran IPA. Nilai biologi di kelas 1 dan 2 SMA bahkan paling rendah dibanding mata pelajaran IPA lainnya. Tak suka biologi gara-gara banyak istilah yang bikin kepala pusing.

Menginjak kelas 3, guru biologi saya pergi ke Bangkok selama seminggu. Sepulangnya dari Bangkok beliau memperlihatkan sebuah pulpen warna toska dengan gambar kartun bertebaran dan ujung pulpen warna emas, sayang tak ada fotonya karena belum musim kamera. "Waaah.....itu beli di Bangkok Bu?" tanya banyak siswa. Saat itu segala sesuatu berbau luar negeri rasanya keren (hehe.... nasionalisme mana nasionalisme). Beliau menyampaikan bahwa beliau hanya satu membeli pulpen tersebut dan hanya akan beliau berikan kepada peraih nilai Biologi tertinggi sesekolah di Ujian Nasional (EBTANAS).

Pulpen yang diperlihatkan Bu Guru selalu terbayang dalam pikiran saya. Kalau mau pulpen seperti itu dan membeli sendiri berapa banyak uang yang harus saya keluarkan padahal untuk ongkos sekolah saja harus berhemat. Maka tak ada cara lain untuk belajar keras supaya mendapat nilai tertinggi di Ujian Nasional. Demi meraih pulpen saya rela berlama-lama belajar biologi dan akhirnya bisa bersahabat dengan biologi.

Pengumuman nilai akhirnya tiba. Hati dagdigdug antara cemas dan harap. Saya pasrah kalau rejeki pulpen toska itu akan jadi milik saya tapi kalau bukan ya sudahlah. Daan....pulpen toska itu.... akhirnya jadi milik saya, alhamdulillah. Pulpen toska itu saya pamerkan kepada ketiga adik saya. Rasanya banggaaa sekali.

Ketika almarhum Bapak menyarankan saya masuk jurusan biologi saya ikuti karena saya sudah bersahabat dengan biologi diantaranya. Setelah pengumuman hasil seleksi masuk PTN saya bersiap-siap membeli alat-alat tulis untuk kuliah. Saya pergi ke sebuah toko buku. Buku-buku, pulpen, pensil dan berbagai ATK berjejer rapi. Mata saya menjelajah sekeliling toko. Hei.... ada barang yang saya kenal sepertinya. Ya, saya kenal persis. Oh.... pulpen toska itu sangat mirip dengan pulpen hadiah dari bu guru. 

Penuh penasaran, saya menanyakan harga pulpen tersebut. Pulpen tersebut harganya Rp 1.500,-  mungkin seharga tiga ribu rupiah kalau saat ini mengingat kurs dollar US saat itu sekitar Rp 7.000. Apa? perjuangan saya untuk bisa bersahabat dengan biologi dihargai seribu lima ratus saja? Tapi.... bisa saja benar bu guru membeli pulpen itu di Bangkok, tambah ongkos jadi berapa hayo? Daan... yang lebih penting lagi sebenarnya adalah bukan masalah harga. Perjuangan tak selalu harus dihargai dengan barang atau uang. Bukankah gara-gara tantangan dari Ibu Guru tersebut saya jadi bersahabat dengan biologi? Terima kasih guru biologiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar