Jumat, 23 Februari 2018

Sepenggal Cerita dari Merapi


Sekitar pukul tiga dinihari bis yang membawa rombongan guru-guru SMAN 1 Lembang tiba di kaki Gunung Merapi. Rasa kantuk yang tersisa,  membuat sebagian besar dari kami enggan turun dari bis dan memilih tidur sambil menunggu waktu shubuh. 

Satu jam kemudian kami pun berhamburan turun ditemani jaket yang menyelimuti. Hawa dingin menyambut,  rasanya tak terlalu menusuk,  mungkin karena kami sudah terbiasa tinggal di daerah pegunungan. 

Ditemani cahaya remang, akhirnya kami tiba di sebuah bangunan toilet. Dua toilet berukuran sekitar 1,5 X 1,5 meter yang bertandakan toilet wanita berhadapan dengan dua toilet pria. Lupakan soal mandi, bisa bersih-bersih ala koboy dengan aliran air sebesar kelingking bayi sungguh sudah nikmat tiada tara.

Usai menunaikan shalat shubuh di Masjid kami pun berkumpul di lapangan. Jeep offroad berjejer,  siap membawa kami. Setiap jeep bisa membawa empat orang penumpang. Pengemudi Jeep Wylis dengan sigap membawa Kami menuju lokasi bekas erupsi sambil bercerita dengan aksennya yang khas. Sesekali panitia juru foto yang kebetulan satu jeep dengan kami harus menurunkan kameranya. Palang setinggi dua meter tersebar sepanjang perjalanan. Bukan tanpa maksud portal itu dibuat. Penduduk berusaha menjaga jalan yang telah dibangun agar tak dilalui kendaraan berat seperti truk.

Tiba di lokasi kami disuguhi pemandangan sunrise, mentari perlahan tersenyum menampakan diri dari kaki gunung. Sungguh pemandangan yang luar  biasa. Beberapa panggung siap dinaiki siapapun yang ingin mengabadikan momen dengan latar puncak merapi. Para fotografer lokal pun selalu siap beraksi. Jangan heran kalau tiba-tiba saat kita turun dari lokasi,  mendapati foto kita yang sudah dicetak berjejer rapi. Kita bisa memilikinya seharga sepuluh ribu rupiah.

Tak jauh dari lokasi foto, sebuah batu besar bertengger. Dikenal dengan nama batu Alien,  batu tersebut memperlihatkan wajah seorang kakek. Konon batu tersebut terlempar dari puncak merapi saat terjadi erupsi. Masyarakat percaya bahwa batu tersebut memiliki kekuatan magis. Alien sendiri katanya berasal dari bahasa jawa "alihan" yang berarti pindahan.

Puas menikmati matahari terbit dan berfoto,  kami pun dibawa kembali Jeep Wylis menyusuri tempat lainnya. Hamparan pasir berbatu menandakan di sana dulu pernah terjadi erupsi. Sebagian lokasi sudah ditumbuhi perdu, semak dan sedikit pohon. Sebuah contoh suksesi primer yang bisa ditunjukkan kepada anak-anak yang tengah belajar Biologi.

Jeep berhenti di depan sebuah rumah yang dikenal dengan Museum Omahku Memoriku atau Museum Sisa Harta yang merupakan sisa bangunan yang terkena letusan. Merinding rasanya melihat perabotan yang meleleh, tulang ternak yang tersisa juga beberapa foto kondisi saat terjadi erupsi. Jam dinding dalam kondisi rusak masih terpampang dan menunjukkan angka 00.15, waktu terjadinya erupsi 5 November 2010 silam. Tak terbayangkan, pada saat tersebut mungkin banyak penduduk tengah terlelap tidur, sebagiannya mungkin berhamburan mengungsi, sebagian lagi mungkin baru tersadar di alam yang berbeda. Sebuah pengingat  bagi para pengembara bahwa suatu saat kita akan dipanggil pulang. Ah,  sudahkah kita berbekal?

Usai berkeliling di Museum mini yang buka pukul 07.00 hingga pukul 17.00 tersebut, kami pun dibawa kembali menuju bis untuk melanjutkan perjalanan ke Kota Yogya. Ada rasa campur aduk saat meninggalkan gerbang bertuliskan "The Lost World". Apa yang ada di dunia ini memang suatu saat akan hilang, yang abadi hanyalah DIA.

Selain tempat yang saya ceritakan,  masih banyak tempat lain yang bisa dikunjungi di sekitar Merapi. Dengan biaya 350 hingga 700 ribu rupiah per Jeep,  kita bisa diantar mengunjungi berbagai lokasi. Bila suka berbasah ria kita bisa memilih paket yang menawarkan salah satu rutenya  ke Kali Kuning. Bila ingin mengenang Sang Juru Kunci, kita bisa memilih rute ke Kampung Mbah  Marijan. 
Subhanallah, betapa kreatifnya para penduduk yang mengubah musibah menjadi ladang berkah. Sungguh bersama kesulitan Allah berikan kemudahan.

Sabtu, 10 Februari 2018

Pembalut kain, Kenapa Enggak?


Beberapa tahun lalu, sempat tersiar kabar bahwa pembalut-pembalut tertentu mengandung zat-zat berbahaya bagi kesehatan. Hal tersebut tidak menyebabkan saya berhenti menggunakan pembalut di masa haid karena alasan kepraktisan. Saya tetap pakai pembalut hanya saja agak pilih-pilih merek yang katanya aman. Merek pembalut apa pun yang saya gunakan, di akhir masa haid tetap saja saya mengalami lecet pada selangkangan. Segala jenis merek, mulai dari yang murah sampai mahal sudah dicoba, hasilnya tetap saja. Akhirnya saya terima nasib lecet di akhir periode haid, toh dua tiga hari kemudian biasanya sembuh sendiri.

Tahun 2009, saya mulai berproses menjalankan gaya hidup zero waste. Saya melakukannya secara bertahap. Saya kemudian berpikir bahwa setiap bulan saya pasti nyampah bisa sekitar 30-50 pembalut. Kalau buang air, pasti saya ganti pembalut. Dalam pembalut selain komponen biodegradable ada juga komponen plastiknya susah diuraikan dan tentunya meracuni lingkungan. Belum lagi plastik pembungkusnya. Mantap sudah kedzaliman saya pada lingkungan. Di situ hati saya galau.

Saya kemudian mencari alternatif untuk berupaya menekan jumlah sampah saat haid. Zero waster di negara-negara barat banyak yang menggunakan menstrual cup, semacam cup kecil berbahan silikon yang diselipkan ke dalam vagina untuk menampung darah haid. Katanya sih mudah dibersihkan, tapi saya kok enggak berani pakai, membayangkannya saja ngeri.
Alternatif lain yang mungkin adalah menggunakan pembalut kain. Yang ini agak kontroversi juga. Ada kekhawatiran bagaimana kalau mencucinya enggak bersih dan sebagainya. Meski demikian, bagi saya ini adalah sebuah alternatif yang paling mungkin. Singkat cerita, mulailah saya mix menggunakan pembalut sekali pakai seperti biasa dan pembalut kain. Pembalut kain hanya dipakai saat berada di rumah saja. Beberapa tahun seperti itu, paling tidak saya bisa menekan separuh jumlah sampah saat haid. 

Ingin berupaya terus menuju zero waste, saya kemudian memutuskan untuk full menggunakan pembalut kain sejak tahun kemarin. Tadinya sih saya khawatir bagaimana memperlakukan pembalut bekas pakai saat di luar rumah. Ternyata masih bisa diatasi dengan menyimpannya pada tas kecil anti bocor. Meski sebenarnya pembalut tadi tak pernah bocor. Kain yang digunakan adalah kain khusus yang mudah menyerap cairan sehingga tidak tergenang. Saat tiba di rumah barulah pembalut tadi saya cuci. Anehnya kain pembalut tersebut mudah dibersihkan, saat diguyur dengan air noda darah gampang luntur. Sebagian orang mungkin berpikir, boros air dong! Enggak tuh! Untuk pencucian awal sebelum menggunakan sabun/deterjen, saya biasanya mengguyur dengan air bekas bilasan cucian baru kemudian dicuci seperti biasa.

Setelah full menggunakan pembalut kain, lecet langganan yang dulu saya rasakan justru malah hilang. Alhamdulillah. Oya, saya tetap merasa kering asal sering ganti. Takut dengan pembalut kain? Enggak tuh, yang penting pilih pembalut yang berbahan nyaman. Perlu perjuangan lebih untuk mencuci memang dibanding menggunakan pembalut sekali pakai. Namun demikian, jejak sampah yang dihasilkan lebih sedikit tentunya. Enggak kebayang kalau saya masih seperti dulu, haidnya sudah beres tapi perjalanan sampah bekasnya masih berlangsung entah berapa bulan atau beberapa tahun kemudian.