Kamis, 21 Mei 2015

Antara Pasar dan Kang Bahar


Kang Bahar, sesosok pria berumur yang datar namun disegani para preman tetapi juga sangat mencintai dan dicintai keluarganya. Sosok Kang Bahar dalam sinetron “Preman Pensiun”membuat pandangan saya tentang preman berubah. Para preman ternyata memiliki kehidupan yang sama dengan kita pada umumnya, senang ketika mendapat kebahagiaan, sedih ketika ditimpa kesusahan. Ya, mereka adalah manusia juga bahkan ada diantara mereka yang cenderung memperjuangkan kebaikan, “preman” adalah sebutan yang disematkan kepada mereka  oleh lingkungan di sekitarnya. Yang saya suka dari Kang Bahar adalah dia memiliki power dan sering kali mengarahkan anak buahnya terhadap kebaikan, misalnya saja ketika dia berhenti dari “bisnis”nya dia mewariskan batu akik kepada penggantinya Kang Mus sambil mengatakan bahwa itu hanyalah cincin tidak memberi kekuatan apa pun secara tersirat dia ingin mencegah anak buahnya dari kemusyrikan. Gaya Kang Mus anak buah Kang Bahar juga saya suka, walaupun orang sering mengganggap dia adalah preman dia malah bertindak membasmi terror dari Jamal preman suruhan pengusaha untuk memaksa warga menjual tanahnya.

Para preman di bawah asuhan Kang Bahar sangat lekat dengan Pasar. Hal ini yang membuat saya berpikir dimana ada pasar di situ ada preman meskipun rasanya saya belum pernah bertemu preman di pasar. Sulit memang mengidentifikasi tampilan preman itu seperti apa, rambut gondrong, beranting, bertato? atau rambut rapi, berjas dan berdasi? Yang jelas, ada atau tidak ada preman di dalamnya pasar adalah tempat yang sering sekali saya kunjungi  untuk membeli buah-buahan, sayuran dan ikan.

Hari itu kamis, malam jum’at 14 Mei 2015, sekitar pukul 21.05 rasa kantuk menghinggapi namun entah kenapa saya ingin sekali menengok HP. Terlihat ada notifikasi dari salah satu grup WA, saya buka ternyata salah seorang teman yang ayahnya berjualan di pasar mengabarkan bahwa Pasar Lembang terbakar, api berkobar dekat jongko ayahnya. Tidak jelas dari mana sumber apinya, yang jelas api melahap seluruh bagian pasar dan baru bisa padam sekitar pukul 5 pagi. Mengapa tidak tersedia tabung pemadam di setiap jongko yang minimal bisa memadamkan api saat api masih kecil? Tidak adakah patroli semacam ronda setiap malamnya di pasar?  Ini adalah PR pemerintah, pengembang dan para pedagang  untuk memperhatikan keselamatan dan keamanan pasar ke depan.
 
Suasana Kebakaran Pasar Lembang (Sumber : Akun FB Arni, anak seorang pedagang)



Saat mendengar bahwa sumber api tak hanya dari satu titik membuat saya berprasangka, “jangan-jangan ada dalang di balik semua ini” terlebih lagi sebelum kebakaran memang tersiar kabar bahwa para pedagang diminta untuk mau direlokasi ke tempat lain namun mereka menolak. Kecurigaan bertambah besar saat beberapa sahabat yang melihat langsung ke dalam pasar saat ingin menyelamatkan bebarapa barang yang masih mungkin bisa selamat melihat  api menjalar dari lantai keramik. Saya benar-benar gagal paham, bagaimana mungkin keramik bisa menghantarkan api layaknya bahan bakar. Tiba-tiba terbayang dalam benak saya sosok Kang Bahar, “Ah, jangan-jangan ada preman suruhan”. Andai saja Kang Bahar itu sosok yang nyata mungkin dia bisa diminta untuk menyelidiki adakah preman yang terlibat? Tapi Kang Bahar adalah sosok imajinatif dan kemudian pada pagi hari baru saya tahu bahwa Didi Petet, pemeran Kang Bahar dipanggil Sang Khalik. Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa’afihi wa’fu,anhu.


Jum’at pagi 15 Mei 2015 asap masih mengepul dari bangunan pasar yang terbakar, polisi, tim pemadam kebakaran, wartawan dari TV local dan nasional, masyarakat memenuhi badan jalan di depan pasar. Ada pula anggota DPRD yang tengah meninjau. Belum jelas apa penyebab kebakaran, tentunya korsleting listrik adalah tersangka yang hanya bisa diam saat dituduh. Saya membayangkan, bagaimana kalau ada tim CSI seperti di film datang memeriksa, dengan peralatan dan kompetensi yang mereka miliki….ah, rupa-rupanya saya terlalu terpengaruh film. Ini adalah dunia nyata, berbeda dengan film meskipun film bisa jadi terinspirasi dari dunia nyata atau ada orang di dunia nyata yang terinspirasi film.

Sebagian pedagang bisa menyelamatkan barang dagangan mereka namun tak sedikit yang kehilangan semua. Saat evakuasi barang masih saja ada orang yang menyelamatkan barang orang lain untuk dirinya. Kok tega ya? Terlepas ada faktor atau kesengajaan atau tidak di dalamnya, semoga para korban mendapat pahala di sisi Allah dan pengganti yang lebih baik.

Kebakaran memang bisa menghabiskan barang dagangan, namun jiwa dagang takkan pernah hangus. Dua hari pasca kebakaran para pedagang mulai kembali berdagang di tempat darurat. Namun, sekali lagi ada hal yang membuat saya kembali teringat pada Kang Bahar. Para pedagang menandai lapak di jalan yang sementara ditutup, tidak ada yang secara khusus mengatur (atau saya yang tidak tahu?), mereka masing-masing menandai sendiri. Adalah seorang teman yang menandai lapak dengan meja lengkap dengan sayuran untuk Sang Ibu yang biasa berjualan di pasar. Tak lama kemudian Sang Ibu menangis karena mejanya sudah ada yang memindahkan, ada orang lain yang kemudian menempatinya. Duh, pantaskah hukum rimba berlaku pada manusia, siapa kuat dia menang. Saat sang anak datang, karena emosi dia memukul perebut lapak  yang nampaknya dalam keadaan mabuk. Dia mengatakan bahwa dia hanya suruhan untuk mencari lapak berdagang. Lalu juragan mana yang menyuruhnya? Entahlah…… Pasar dan Kang  Bahar adalah dua hal yang senantiasa berdampingan setidaknya dalam pikiran saya.

Suasana Pasca Kebakaran (Dokumen Pribadi)

Rabu, 07 Mei 2014

Anakku Tanya Paedofil

Akhir-akhir ini pemberitaan media banyak mengungkap kasus pelecehan pada anak. Kasus paling baru adalah kasus "Emon" seorang paedofil yang merenggut korban sedikitnya 73 anak. Sebagai seorang ibu rasa khawatir pastinya ada. Ngeri rasanya tiap menonton atau membaca berita tersebut.Saya berupaya agar anak saya yang masih berumur enam tahun untuk tidak mengetahui berita tersebut, khawatir dia belum bisa mencerna. Entahlah....apa saya terlalu berlebihan.
Kemarin pagi saat memindah-mindahkan chanel TV tiba-tiba berita tentang kasus paedofil tersebut muncul. Kontan Si Kecil bertanya "Bun, paedofil itu apa sih?" Kadung dia mendengar istilah tersebut, mau tak mau harus dijelaskan. Memutar otak sambil berupaya memperlihatkan wajah tetap tenang saya jawab, " Paedofil itu orang yang suka anak kecil". "Suka gimana?" tanyanya makin penasaran. " Paedofil itu orang yang suka pegang-pegang pantat anak kecil" jawabku pendek. "Ih....jijik ya Bun?" sambil bergidik. "Iya, makanya harus hati-hati ya. Kalau ada yang suka pegang-pegang pantat anak kecil itu paedofil, orang jahat, harus dijauhi, terus laporin!" berharap jawaban tersebut bisa membuatnya paham dan berhati-hati. Bagaimanapun memang anak harus diajari mana hal-hal yang aman dan mana hal-hal yang membahayakan. Toh kita tak bisa 24 jam menjaga mereka secara langsung.
Untuk melindungi anak-anak butuh kerja sama banyak pihak. Pelaku yang merampas kecerian anak, merenggut masa depan anak-anak harus dihukum seberat-beratnya!!!!

Sabtu, 19 April 2014

Mencari Alamat

Seorang wanita berumur duduk di pojok ketika aku memasuki angkot yang tengah ngetem menunggu penumpang. Aku duduk tepat  di depannya. Ku balas senyumnya yang mengembang di tengah garis-garis tak terhitung di wajahnya. Perkiraanku usianya sudah di atas tujuh puluh tahun. 
"Neng mau kemana?" tanyanya membuka pembicaraan.
"Saya mau ke pulang, ke Lembang Bu. Ibu mau kemana?" aku balik bertanya.
"Ma dari Pasir Langu nyari anak Ma" rasanya jawabannya gak nyambung dengan pertanyaan tapi wow....dari Pasir langu di usia serenta itu? asal tahu saja jalan ke daerah itu bisa bikin sport jantung plus ga ada angkot kesana, kalau gak bawa kendaraan sendiri ya paling naik ojek.
"Nyari anak? memang anak Ma tinggal dimana?" aku melanjutkan pertanyaan.
"Sebetulnya yang lagi Ma cari bukan anak tapi keponakan, tapi dia sayang sekali sama Ma jadi rasanya seperti anak. Dulu dia tinggal di Pasir Langu tapi sekarang kata orang sudah pindah ke Cirateun Pentas. Katanya sih turun di Dorado (mungkin maksudnya Eldorado) terus naik ojek ke atas. Tadinya Ma bawa uang sepuluh ribu, dipake ongkos jadi tinggal dua ribu. Cukup ga ya? mungkin nanti dari Dorado Ma harus jalan" ucapnya sambil menggenggam uang dua ribu di tangannya. Kalau dihitung-hitung sih uang dua ribu tentu tak akan cukup dari terminal ke Lembang saja sudah lima ribu, dari Lembang ke Eldorado empat ribu, belum lagi ojek.
"Sudah Ma, gak usah dipikirkan. Biar ongkos dari saya. Ma kok pergi sendiri? memangnya rumah Ma dimana?"
"Ma tinggal di Raja Mandala."
"Raja Mandala Ciamis?" tanyaku spontan karena rasanya nama Raja Mandala lekat sekali dengan Ciamis
"Bukan Neng? itu deket Padalarang?"
"Oh......" aku pura-pura mengerti
"Terus kenapa Ma pergi sendiri? ga ada yang antar?" 
"ga ada" jawabnya pendek
"Ma ga punya anak? " lama-lama aku kayak polisi yang lagi interogasi
"Punya sih.....tapi dia ga sayang" suaranya terhenti, ia terisak kemudian menyeka air mata dengan bajunya. Ah, aku jadi merasa bersalah mengungkit kesedihannya. Tapi aku jadi teringat diri sendiri sudahkah aku berbakti pada orang tua? wajah Mama dan almarhum ayah berkelebat dalam pikiranku. Aku bertekad akan segera telfon mama sesampainya di rumah.
Ia kemudian menceritakan beberapa sikap anak dan menantunya yang menyakitkan baginya. Ah, aku jadi speechless, aku terdiam berusaha mendengarkan.
"Sebenarnya Ma masih punya anak satu lagi, tapi rumahnya jauh. Di Raja Mandala teh Ma mengembara bersama suami, Ma dari Banten, kini orang yang Ma ikuti (suami) sudah meninggal. Ada lagi sih........" tiba-tiba dia berhenti berbicara saat beberapa penumpang lain memasuki angkot yang kami tumpangi. Kami kemudian saling melempar senyum. Entahlah, aku merasa seperti telah mengenal beliau, aku merasa dekat. Kalau nenekku masih hidup mungkin usianya tak jauh dengan beliau.

Tak seperti biasanya, setelah beberapa menit ngetem di terminal angkot yang kami tumpangi penuh. Sepanjang perjalanan, wanita tua itu diam, matanya seperti tengah menerawang jauh. Aku bertekad untuk mengantar beliau ke tempat angkot berikutnya meski artinya aku berhenti sebelum tempat biasanya dan harus menyebrang tiga kali. Ya, menyebrangi jalan, aktivitas yang sedikit menakutkan setelah kejadian tertabrak motor yang tiba-tiba muncul saat menyebrang beberapa tahun lalu.

Sepanjang perjalanan aku mengucap Allahummag firlahu, warhamhu, wa 'afihi wa'fuanhu dan do'a untuk kedua orang tua dalam hati.

Ketika angkot yang kutumpangi hampir tiba di pertigaan tempat angkot yang akan melewati Eldorado mangkal, aku minta Pak Sopir berhenti.
"Ma, ayo turun disini bareng sama saya. Tasnya biar saya yang bawa. " tas jinjing warna hitamnya sulit disebut hitam. Risletingnya mungkin sudah rusak sehingga di ganti sebuah penitik di tengah, karena itu aku bisa melihat jelas isi tas itu adalah pakaian.   

Angkot telah berlalu, kami bersiap menyebrang, kupegang tangan Ma dengan tangan kiri, tas Ma dengan tangan kanan sementara tasku menggntung di pundak kanan. Alhamdulillah, tak seperti biasanya hari ini aku hanya membawa sedikit bawaan ke sekolah. " Ini bukan kebetulan, ini adalah rencana-Nya" pikirku. Aku tengok kanan, tengok kiri dengan jantung berdegup kencang. Alhamdulillah, lagi-lagi tak biasanya ada polisi di pertigaan. Kami berhasil menyebrang dengan bantuan polisi. 

Tempat mangkal angkot ternyata kosong, pasti karena ada polisi. Tempat itu memang bukan tempat legal untuk mangkal angkot. Kurang dari satu menit angkot yang ditunggu tiba. Aku titip Ma ke Pak Sopir agar menurunkannya di Eldorado. Ma kutuntun naik angkot sambil kuselipkan uang sekadarnya untuk ongkos ojek, "Ma, nanti Pak Sopir akan berhenti di Eldorado, nanti disana Ma naik angkot ya!"

Aku berada di luar sementara Ma masih menggenggam tanganku, "Kalau Neng mau kemana?" suaranya lirih. "Saya mau pulang, mudah-mudahan alamat yang Ma cari ketemu ya!" Pak Sopir memberi tanda bahwa angkot akan segera berangkat. Setelah angkot krem itu tak terlihat aku menyebrang dengan bantuan polisi lagi. Oh, terima kasih Pak Polisi.

Angkot yang bisa mengantarku pulang cukup lama tak muncul. Aku berdiri di tepi jalan sementara  genggaman erat tangan Ma masih terasa meski bahkan kami belum saling mengenal nama. Aku jadi menyesal, "Kenapa aku tinggalkan Ma sendiri? Kenapa  gak aku antar sampai alamat yang dia tuju?" Ah, sudahlah, sudah terlambat. Semoga ia bisa temukan alamat yang dicarinya.