Rabu, 04 Desember 2019

Kasihan Jalan

"Teh, kemarin aku lihat Teteh jalan. Meni kasihan." seloroh seorang rekan kerja. "Oh,  kemarin sore, pulang sekolah mampir beli tahu terus jalan dikit cari ojeg pulang" jawabku santai. "Meni kasihan Teteh, jalan  sendirian, pakai payung, nunduk" ucapnya. "Gak apa-apa Neng, I am happy with that" sambil kukedipkan sebelah mataku.

Hmmm... Terima kasih banyak atas perhatian yang diberikan. Ingatanku lalu melayang pada hari itu. Dengan menggunakan ojeg depan sekolah akhirnya aku tiba di gerai tahu lewat pintu belakang karena gerbang di tutup sebab jalan sedang dalam perbaikan. "Mas, itu gerbang depan bisa dibuka gak?" tanyaku pada pelayan gerai yang tengah memasukkan tahu ke dalam wadah yang sengaja kubawa dari rumah. "Pake mobil Bu? Enggak bisa lewat, kan jalannya lagi diperbaiki." "Enggak Mas, saya jalan kaki kok" "Ooh? Jalan? Bisa, bisa" Mas pramu niaga tampak heran.

Di sini di negeri yang kucintai ini, entahlah jalan kaki seperti sesuatu yang aneh. Betapa tidak, demi mencapai jarak beberapa ratus meter saja ojeg siap mengantar. Menembus gerimis sore itu, aku berjalan beberapa ratus meter menuju pangkalan ojeg. Menunduk? Tentu saja. Bukan karena sedih atau malu melainkan aku harus fokus pada jalan yang kuinjak berhubung trotoar sangat sempit.

Ah, sebenarnya kalau tak ingat pekerjaan rumah telah menunggu inginnya aku berjalan sampai rumah. Berjalan bagiku adalah sebuah kebahagiaan sebab itu artinya fisikku masih prima, setidaknya masih bisa digunakan untuk berjalan. Berjalan di tengah lalu lalang kendaraan roda dua maupun empat bagiku bukan sebuah aib, prestasi malah, hahaha. Betapa tidak, setidaknya aku telah meminimalisasi emisi karbon. Belum lagi sebuah penelitian menyimpulkan bahwa berjalan kaki 30 menit per hari 4  kali per pekan dapat menurunkan resiko dementia atau kepikunan. Gimana? Masih enggan jalan? Pikir ulang deh.

Kepada Dinas PU,  please atuh trotoarnya dibuat agak manusiawi agar kami bisa berjalan dengan happy 😉.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar