Minggu, 13 Oktober 2019

Pelembap Alami untuk Kulit Berminyak

Huhu... Punya kulit sensitif sekaligus juga berminyak itu lumayan tricky. Nyoba pakai pelembap yang ada di pasaran malah bikin beruntusan belum lagi repot harus ngecek ingredients. Hampir putus asa mau menyerahkan urusan kulit ke klinik tapi bingung nyari klinik yang pas di hati. Apa sebab? Urusan kulit itu adalah urusan yang holistik. Bukan sekedar kulit terlihat baik tapi komposisinya haruslah aman buat tubuh secara keseluruhan juga aman buat lingkungan. Singkat cerita, hari ini saya nyoba bikin pelembap sendiri dengan mencampurkan bahan-bahan berikut:
- 10 mL aloe vera gel (kali ini pake yang komersil dari the saem)
- 1 mL argan oil
- 2 tetes air mawar
- 2 tetes tea tree essential oil
Masing-masing bahan warnanya bening, nah pas dicampur jadi putih gitu. Pelembap ini dipakai setelah cuci muka. Untuk pelindung dari matahari saya pake bb cream secret garden dari Green Momy. Sementara gitu aja. Hasilnya? Kita lihat beberapa hari ke depan lah ya. Bismillah...semoga cocok.

Sabtu, 12 Oktober 2019

Menuju Medan Laga

Upayaku begitu sahaja
Bukan tiada tekad membaja
Semata karena keterbatasan tenaga
Namun bukankah Engkau Maha Segala
Engkau Maha Kuasa gerakkan semesta
Sungguh hanya pada-Mu aku meminta
Beri aku kekuatan tuk meraih cita
Pada-Mu saja ku mengemis cinta
Kuharap kasih-Mu membelai sukma

Lembang, 13 Oktober 2019
Detik-detik menuju medan laga
Sedang aku tiada daya

Senin, 01 Juli 2019

Memilih Tempat Senam

Moms, apa Moms pecinta senam? Faktor apa saja sih yang jadi pertimbangan dalam memilih tempat senam? Kalau saya sih setidaknya ada dua hal yang jadi pertimbangan yaitu jenis senam dan tempat.
Terkait jenis senam, sebab usia saya sudah bukan tujuh belas lagi, saya memilih senam yang low impact. Kenapa demikian? Menurut beberapa sumber, menginjak usia di atas 30 tahun produksi enzim SOD (super oksida dismutase) berkurang. Enzim tersebut bertanggung jawab dalam mengubah radikal bebas yang dihasilkan saat berolahraga menjadi zat yang aman bagi tubuh. Oleh sebab itu usia di atas 30 sebaiknya memilih olah raga yang tidak terlalu berat dan juga menyenangkan.
Faktor yang tak kalah pentingnya adalah tempat. Tempat yang digunakan untuk senam indoor diupayakan benar-benar tertutup. Apa sebab? Biasanya baju yang dikenakan body fit agar kita bebas melakukan gerak dan presisi gerakan bisa terevaluasi. Selain itu, di tempat tersebut diupayakan tidak ada yang selfie atau rekam video apalagi sampai diupload, haduh. Dalam keseharian berfoto ria sih oke, tapi kalau lagi senam indoor? BIG NO deh. Moms, bagaimana dengan olahragamu?

Sabtu, 24 November 2018

Lelaki Kecilku Galau

Kuusap punggung lelaki kecilku. Raut wajahnya tak biasa. Mendung masih menggantung pada muka lelaki sepuluh tahun itu. “Ayo tidur Nak, supaya bisa bangun shubuh” ucapku. “Gak bisa tidur Bun" katanya sambil membalikkan badan. Biasanya baca sebentar, tak lama kemudian ia akan tertidur pulas.
Ada yang berbeda di malam itu. Sejenak pandangannya tertuju pada piala O2SN tahun kemarin. “Duh, renang" bisiknya lirih. “Kamu masih gak ikhlas melepas lomba renang?” tanyaku. “Bukan begitu Bun” jawabnya pendek. “Tadi Bu Guru WA Bunda, katanya kamu pilih gak ikut lomba renang” hati-hati kulontarkan kalimat itu. Kegalauan sempat hinggap juga di hatiku siang tadi sebenarnya. Bu guru mengabarkan bahwa lomba siswa berprestasi jadwalnya berbarengan dengan O2SN renang. Sebenarnya hatiku lebih galau lagi menyaksikan lelaki kesayangan kehilangan senyumnya. Ibu mana yang tega melihat buah hatinya berduka.


Aku sebenarnya tak pernah memaksa anakku untuk ikut berlomba, namun kepercayaan sekolah telah diamanatkan pada lelaki yang terlahir dari rahimku itu. Sayangnya dua amanat dalam satu waktu tak mungkin dilaksanakan bersamaan. Mungkin ini momen yang tepat bagi anakku untuk memilih. “Iya, aku bilang pilih ikut lomba berprestasi. Sebenarnya aku lebih suka lomba renang” kata-kata mengalir dari mulut mungilnya. Binar di matanya masih saja bersembunyi entah di mana. “Tapi aku kasihan sama Bu Guru, udah ngajarin aku buat ikut siswa berprestasi,” sambungnya. “Kamu harus ridho dengan pilihanmu. Kalau hatimu belum lega, Bunda bisa bilang Bu Guru kalau kamu berubah pikiran” jelasku. “Jangan Bun!” pintanya. “Kalau gitu ikhlaskan, Bunda tahu kamu sudah berlatih renang tiap pekan, dan sekarang kamu korbankan untuk lomba yang lain yang mungkin jarang sekali kesempatannya. Semoga pengorbanan kamu berbuah keberkahan. Kalau kamu senang lomba renang, insya Allah nanti Bunda carikan, bahkan kalau lombanya di luar kota insya Allah bunda antar" hiburku. Akhirnya si anak semata wayang tertidur lelap.
Kuusap punggung lelaki kecilku. Raut wajahnya tak biasa. Mendung masih menggantung pada muka lelaki sepuluh tahun itu. “Ayo tidur Nak, supaya bisa bangun shubuh” ucapku. “Gak bisa tidur Bun" katanya sambil membalikkan badan. Biasanya baca sebentar, tak lama kemudian ia akan tertidur pulas.
Ada yang berbeda di malam itu. Sejenak pandangannya tertuju pada piala O2SN tahun kemarin. “Duh, renang" bisiknya lirih. “Kamu masih gak ikhlas melepas lomba renang?” tanyaku. “Bukan begitu Bun” jawabnya pendek. “Tadi Bu Guru WA Bunda, katanya kamu pilih gak ikut lomba renang” hati-hati kulontarkan kalimat itu. Kegalauan sempat hinggap juga di hatiku siang tadi sebenarnya. Bu guru mengabarkan bahwa lomba siswa berprestasi jadwalnya berbarengan dengan O2SN renang. Sebenarnya hatiku lebih galau lagi menyaksikan lelaki kesayangan kehilangan senyumnya. Ibu mana yang tega melihat buah hatinya berduka.

Aku sebenarnya tak pernah memaksa anakku untuk ikut berlomba, namun kepercayaan sekolah telah diamanatkan pada lelaki yang terlahir dari rahimku itu. Sayangnya dua amanat dalam satu waktu tak mungkin dilaksanakan bersamaan. Mungkin ini momen yang tepat bagi anakku untuk memilih. “Iya, aku bilang pilih ikut lomba berprestasi. Sebenarnya aku lebih suka lomba renang” kata-kata mengalir dari mulut mungilnya. Binar di matanya masih saja bersembunyi entah di mana. “Tapi aku kasihan sama Bu Guru, udah ngajarin aku buat ikut siswa berprestasi,” sambungnya. “Kamu harus ridho dengan pilihanmu. Kalau hatimu belum lega, Bunda bisa bilang Bu Guru kalau kamu berubah pikiran” jelasku. “Jangan Bun!” pintanya. “Kalau gitu ikhlaskan, Bunda tahu kamu sudah berlatih renang tiap pekan, dan sekarang kamu korbankan untuk lomba yang lain yang mungkin jarang sekali kesempatannya. Semoga pengorbanan kamu berbuah keberkahan. Kalau kamu senang lomba renang, insya Allah nanti Bunda carikan, bahkan kalau lombanya di luar kota insya Allah bunda antar" hiburku. Akhirnya si anak semata wayang tertidur lelap.

Minggu, 06 Mei 2018

Bukan Tersesat

Minggu 06 Mei 2018 adalah hari terakhir kami berasyik masyuk dengan Mekah Almukaromah karena besok dini hari harus sudah bersiap-siap check out. Ada rasa berat di hati laksana berpisah dengan kekasih. Saat sarapan pagi terlintas dalam pikiran ingin lebih mengeksplor lagi Masjid Al Haram. Semoga saja Allah takdirkan kembali suatu saat.

Meski berangkat bersama dengan suami, karena tempat sholat kami terpisah kami bersepakat untuk menjadikan ATM Rajhi Bank di depan pintu exit 1 sebagai meeting point. Usai dzuhur di lantai 4 aku sedikit berjalan mencari spot untuk memotret kertas bertuliskan beberapa kalimat untuk oleh-oleh. Sayangnya pencahayaan kurang pas,  sehingga aku urung memotret, maka kuputuskan untuk segera turun menuju tempat janjian. Eskalator tempat tadi naik tidak kutemukan. Sudahlah yang penting turun saja, nanti juga kalau sudah di luar gampang.

Saat keluar,  suasana terlihat asing, wajah melayu tak kutemui. Kuikuti langkah orang-orang di sekitar seperti daun yang jatuh di aliran sungai. Aku baru tersadar bahwa aku telah jauh dari meeting point saat di hadapanku terlihat sebuah bukit gersang dengan beberapa buah bangunan. Kubuka pesan WA, "Bun, di mana?". "Entah dimana, tapi tunggu saja!" sebuah jawaban absurd bukan? Aku bukan tersesat, aku hanya butuh waktu lebih mencari jalan pulang.
Sambil memotret beberapa spot menarik, kuputuskan mencari askar. Tak terpikir sedikit pun untuk membuka Google Map. Hahaha...memangnya bisa ya pakai Google Map di sini?

Tiba di Gate Al Arqam dua orang Askar berseragam ala tentara dan dua orang bersorban ala pangeran Arab tengah berjaga. Kuhampiri salah satunya,  "Assalamu'alaikum...I think I'm getting lost". Sang Askar mengangkat bahu dan tangan sembari memiringkan kepala."How do I get to eighty eight Gate?" tanyaku penuh harap. "Eighty eight?" tanyanya. Aku mengangguk, mataku berbinar berharap sang askar menunjukkan jalan. Akan tetapi bukannya arah yang ia tunjukkan, malah smart phone miliknya yang ia tunjuk dengan jarinya. Duh, apa maksudnya? Kucoba terka makna isyarat telunjuknya. Kubuka hand phone, kutuliskan angka 88 dan kutunjukkan padanya. Ia manggut-manggut, lalu menunjukkan arah dengan lengan kanannya.

Kulangkahkan kaki sesuai Arah yang ditunjukkan askar. Setelah melewati tempat funeral praying dari kejauhan kulihat depot air dekat pintu keluar satu, jalan yang belakangan ini kulalui menuju ataupun meninggalkan masjid. Alhamdulillah... Aku bukan tersesat, hanya sedikit berkesempatan menginjakkan kaki di beberapa tempat yang belum aku singgahi di sekitar Masjidil Haram.

Jumat, 13 April 2018

KENAPA ZERO WASTE LIFESTYLE?

Prof. (Em.) Paul O'Connet pernah bercerita dalam sebuah kesempatan. Suatu ketika bak kamar mandi seorang pria hampir penuh. Ia kemudian menciduk air dengan gayung untuk membuangnya. Air masih saja penuh, bahkan hampir luber. Ia kemudian menggunakan ember untuk membuang kelebihan air. Ember tak cukup, ia kemudian menggunakan mesin penyedot air. Tak lama kemudian, istrinya datang. Melihat suaminya sibuk, si isteri hanya melangkah mendekati bak kemudian mematikan kran air. Bak berhenti meluap, sang isteri telah memecahkan permasalahan dari akarnya.

Ilustrasi di atas mirip dengan kondisi sampah saat ini. Sekeras apapun upaya membuang sampah, sejatinya tak akan menyelesaikan permasalahan sampah. Sekadar membuang hanya memindahkan masalah. Oleh sebab itu, penutupan kran adalah solusinya. Bagaimana menutupnya? Tak semudah menutup kran air tentunya, kran satu ini agak macet memang,  tapi bisa diusahakan. Zero waste lifestyle adalah salah satu upaya tersebut. Bagaimana memulainya? Saya akan bercerita lain waktu. Kamu punya cerita seputar zero waste? Yuk, tulis di kolom komentar!

AKHIRNYA DISUNTIK JUGA

"Yah, nanti pas bunda disuntik tolong video ya!” ucap Si Kecil sambil mengerling ke  arahku. Dulu  aku membujuknya habis-habisan agar mau disuntik saat ada program vaksinasi di sekolah. Tahu  bahwa ibunya harus divaksin, ia seperti balas dendam. Ia seperti tahu jauh di kedalaman hati, sebenarnya aku juga takut ketemu jarum suntik. Ah, sungguh memalukan.  Dulu sebenarnya aku pernah bercita-cita menjadi dokter namun urung mendaftar ke jurusan kedokteran karena orang tua keberatan. Untung saja tak jadi, masa iya dokter takut jarum suntik.

Selasa 27 Maret kebetulan tak ada jadwal. Aku dan suami memutuskan untuk vaksinasi hari itu. Degdegan sih sebetulnya, tapi sekarang atau nanti tetap akan disuntik bukan? Berdasarkan informasi dari teman, vaksinasi meningitis dapat diperoleh di Rumah Sakit Pelabuhan. Di  Bandung kabarnya berlokasi di Jalan Cikapayang. Kucari lokasi Rumah Sakit Pelabuhan dalam Googlemap ternyata tak ditemukan. Tiba di Jalan Cikapayang,kami bertanya kepada petugas kebersihan jalan. Ternyata benar ada, namun bukan rumah sakit melainkan Kantor Kesehatan Pelabuhan.

Tiba di KKP, kami pun melakukan pendaftaran online menggunakan komputer yang disediakan. Fotokopi passport dan foto 4x6 yang kami siapkan ternyata tak diminta. Setelah mengisi data seperti nama, nomor passport dan sebagainya, kuambil foto didepan komputer dengan mengklik tombol “nyalakan kamera” dan ”ambil gambar”. Kertas nomor antrian kemudian keluar otomatis.

Kami kemudian menuju lantai  2. Aku sedikit gugup saat dipanggil dan disuruh memasukkan lengan kanan ke dalam tensimeter otomatis. Aku pikir, alat suntik sekarang sudah berubah. Hahaha….begitulah kalau sudah fobia jarum suntik. Di loket itu sebenarnya hanya dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan pengecekan kesehatan secara umum. Dari loket itu, selanjutnya aku menuju loket pembayaran. Biaya yang harus dibayarkan adalah tiga ratus lima ribu rupiah. Ada biaya tambahan dua piluh lima ribu bagi wanita usia subur untuk kit pemeriksaan kehamilan.

Usai membayar, aku diarahkan menuju ruang suntik, laki dan perempuan terpisah. Sebelum disuntik, aku diminta melakukan tes urin sendiri di toilet yang disediakan. Hasilnya diperlihatkan kepada petugas. Langkah-langkah tes dipampang jelas di dinding toilet, namun masih saja ada yang salah misalnya urin malah dibawa ke meja petugas. Duh, bagaimana kalau tumpah? Sebagian orang ada juga yang membuang wadah berisi urin langsung ke dalam tong sampah tanpa membuang urinnya terlebih dahulu ke dalam kloset, sehingga tempat sampah menjadi basah dan berbau.

Akhirnya tiba giliranku disuntik. Kuarahkan pandangan ke jendela dengan maksud mengalihkan konsentrasi. Tiba-tiba rasa digigit semut menyapa lengan atasku, tak lebih dari satu detik rasanya. Setelahnya, ada sedikit rasa pegal. Ah, ternyata jarum suntik tak sampai menelanku. Yes, akhirnya aku disuntik dan rasanya tak seseram yang dibayangkan. Keluar dari ruang suntik kuserahkan bukti suntik dan bukti pembayaran ke loket terakhir untuk ditukar dengan buku bukti vaksinasi. Oya, kalau mau divaksin sebaiknya kenakan pakaian dengan lengan longgar atau baju bukaan depan untuk memudahkan.