Rabu, 04 Januari 2017

Bahasa Cinta

Hal terbesar yang saya khawatirkan sebelum mengikuti CPD di Australia tahun 2014 silam adalah bahasa meski tes toefl dan wawancara alhamdulillah berhasil dilalui. Soal cuaca, saya bisa menyiapkan pakaian, soal makanan gampang saya kan penyuka segala yang penting halal. Tapi, urusan bahasa  bisa diapakan? meski belajar Bahasa Inggris sejak SD tetap saja saya enggak PD. Ditambah lagi kalau saya mencoba bicara dalam Bahasa Inggris dengan teman yang  pandai berbahasa Inggris, saya sering dapat interupsi mulai dari salah pronunciation sampe salah pemilihan vocab, bikin males ngomong lagi. Mau ngajari yang bener sih bagus, tapi please dong caranya yang enak gitu lho! Atau mungkin saya yang terlalu lebay menanggapi. Mendapat kritik itu memang pedih Jenderal! Tapi, bukankah dari kritikan kita pun bisa belajar?

Khawatir terjadi kesalahpahaman karena bahasa, saya sengaja mengirim email kepada calon host family di Australia, pakai bahasa Inggris acak-acakan gaya saya tentunya. Isinya tentang rasa terima kasih saya karena telah mau menerima saya plus ini nih yang paling pokok : saya kurang mahir berbahasa Inggris, saya guru Biologi bukan guru Bahasa Inggris. Hihi....alesan, padahal soal bidang studi tentunya dia sudah tahu lewat biodata. Sambutannya hangat, dia bilang jangan terlalu mengkhawatirkan soal bahasa. Nanti dia akan mengajari katanya. Yessss....lumayan lega, bakal dapet les gratis nih dari native speaker.

Tiba di bandara pukul 9 malam waktu setempat mata saya tertuju pada sebuah kertas bertuliskan nama saya yang dipegang oleh seorang wanita cantik usia empat puluhan. Cepat-cepat saya hampiri, dia memeluk erat sekali, seperti saudara lama yang baru bertemu kembali. Dia langsung mengajak saya ke parkiran yang katanya di sana teman prianya tengah menunggu di mobil. Sepanjang perjalanan kami mengobrol banyak hal. Pupus sudah anggapan saya bahwa bule itu gak bisa basa-basi, atau memang semua yang dia ucapkan bukan basa-basi, semua terasa meresap di hati. Hei...tunggu....sepanjang jalan tadi saya ngomong inggris dan kami saling memahami bahkan tanpa interupsi. Ini mungkin bukan bahasa Inggris tapi bahasa cinta. Perasaan bahagia bertemu orang yang mau menerima kita apa adanya.
(foto : abcmovement)
Keesokan harinya, seperti disampaikan Betty semalam saya bersama Deasy (teman satu program) akan diantar Kate (Mahasiswa pertukaran asal Amerika) untuk keliling kota, mengenal alat transportasi dan tempat-tempat yang akan kami kunjungi selama program. Gadis cantik asal Houston itu ramah sekali. Gaya bicaranya menambah anggun wajahnya meski belum mandi. Lho, kok tahu belum mandi? Ya iya lah, bangun tidur, cuci muka terus manggang roti depan saya, sarapan langsung ngajak pergi :). Obrolan dengan Kate pun berjalan lancar meski bahasa Inggris saya pas-pasan dan Kate tak bisa berbahasa Indonesia. Saat saya salah ucap atau salah vocab, dia tak langsung interupsi dia menanggapi seolah tak terjadi kesalahan kemudian dalam beberapa kalimat tanggapannya dia mengucapkan vocab yang saya salah tadi tanpa bilang "harusnya begini lho" tapi saya menulis di otak "Oooh....harusnya begitu" lagi-lagi saya belajar bahasa cinta.

Di sekolah pun saya banyak belajar termasuk bahasa. Saat seorang relief teacher nanya apakah saya guru bahasa Inggris dan tentu saja jawabannya tidak, ia berkomentar "But your English is good". Aseliiii....komentar seperti itu encouraging banget, bayangkan padahal selama ini saya sering dapat komentar negatif dari orang-orang pintar inggris! Lagi....saya yakin, ini adalah bahasa cinta yang memotivasi orang untuk terus belajar.

Suatu malam seperti biasa usai makan malam saya, Betty dan Deasy mengobrol. Entah dari mana awalnya, obrolan kemudian berujung pada kisah ibunya (Mrs. Kouts) enam puluh tahun silam tiba di Australia. Saat itu Mrs. Kouts masih lajang, kondisi kehidupannya di Yunani yang cukup memprihatinkan memotivasi dirinya untuk menyusul saudarinya ke benua Australia. Berbekal baju yang menempel di badan dan dompet dengan isi seadanya ia pergi sendiri ke Australia dengan menumpang kapal laut. Duuuh....enggak kebayang, berhari-hari tak ganti baju bagaimana rasanya? Sampai di pelabuhan ia kemudian mencari taksi tanpa berkata-kata ia akhirnya naik taksi dan menunjukkan secarik kertas bertuliskan alamat yang ia tuju. Bukan, bukan karena bisu ia tak bicara melainkan ia tak bisa bahasa inggris sama sekali. Tiba di alamat yang dituju, ia pun turun. Karena bingung harus berkata apa untuk menanyakan berapa ia harus membayar, ia kemudian membuka dompetnya dan memperlihatkannya kepada sopir dan memberi isyarat untuk mengambil uang dari dalam dompetnya dengan jumlah terserah pak sopir. Apa yang dilakukan Sang Sopir kemudian? Mengambil sebagian uang dari dalam dompet atau ambil sekalian sama dompetnya? Sang sopir malah menambahkan sejumlah dolar ke dalam dompet tersebut. Aaaah... lagi-lagi bahasa cinta. Mrs. Kouts memang tak bermaksud meminta bahkan ia ingin membayar seperti seharusnya, tapi sopir itu sepertinya paham benar bagaimana kondisi penumpangnya. 

Kepada orang-orang yang telah saya temui selama perjalanan kehidupan hingga detik ini termasuk yang suka komen negatif, terima kasih kalian telah mengajarkan BAHASA CINTA.


3 komentar: