Selasa, 24 Januari 2017

Kenangan Bersama Kaliandra

Perubahan sejatinya adalah satu-satunya hal yang tak berubah di dunia ini. Semua berubah setiap waktu. Begitupun kampung halamanku. Meski demikian, tetap menyisakan keindahan. Banyak hal berubah di Lembang, Bandung Utara yang kini termasuk wilayah Kabupaten Bandung Barat. Namun tetap saja, kawasan Bandung Utara menjadi destinasi wisata baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Di tahun sembilan puluhan belum banyak objek wisata seperti sekarang yang banyaknya artifisial. Objek wisata yang terkenal saat itu dan sampai sekarang pun adalah kawah Tangkuban Perahu. Tak hanya dikenal di Jawa Barat saja melainkan juga dikenal  dunia. Halah....tahu dari mana? Ya, mengira-ngira saja, pasalnya waktu duduk di bangku SD dulu banyak rombongan "bule" yang datang ke sekolah  yang selanjutnya perjalanan akan dilanjutkan ke Tangkuban Perahu katanya. Bicara soal bule masuk sekolah, itu adalah momen yang sangat dinantikan oleh kami anak-anak SD saat itu, pasalnya jarang bertemu bule selain nonton dalam film Robin Hood. Bila bis rombongan "bule" datang, kami berhamburan keluar menyambut mereka sambil memanggil mereka dengan panggilan "Mister" tak peduli mereka laki-laki atau pun perempuan, panggilannya tetap sama "MISTER". Beberapa tahun kemudian tak pernah ada lagi rombongan "bule" datang, kabarnya sudah dilarang Departemen Pendidikan. Pupus sudah kesempatan mendapat hadiah alat tulis dari mereka.

Ya, semua telah berubah namun tidak pada Kaliandra sahabatku. Kaliandra adalah tanaman yang tumbuh di tepi tebing di salah satu areal milik BALITSA (Balai Penelitian Tanaman Sayuran) yang dulu pernah bernama BALITHORT (Balai Penelitian Tanaman Holtikultura) tempat kerja almarhum bapakku. Sepekan sekali aku bersama bapak, ibu dan adik-adikku melewati tebing itu demi mengikuti kegiatan sebuah organisasi keagamaan yang di kemudian hari menjelang wafat Bapak keluar. Kadang terasa berat manakala harus berbeda dari orang lain, menempuh jarak beberapa kilometer untuk sesuatu yang tak kami mengerti saat itu. Mengapa tak naik angkot  (angkutan kota) saja? saat itu angkot belum terlalu banyak seperti sekarang ditambah lagi jarak tempuh dengan angkot lebih jauh karena harus keliling. Bagiku yang saat itu masih anak-anak, menikmati perjalanan adalah satu-satunya pilihan. Berhenti di satu-satunya warung yang kami lewati kemudian makan goreng ubi membawa kenikmatan tersendiri. Pulangnya, Bapak dengan sabar menunggui kami memetik bunga-bunga kaliandra untuk dibawa pulang. Bunga kaliandra yang telah mekar mirip rambut "bule", tinggal diikat atau dikepang sudah jadi boneka barbie kami. Sedangkan yang masih kuncup akan kami poteli kelopaknya sehingga menyerupai rambut keriting. Maka sudah siaplah kami bermain drama dengan tokoh bunga-bunga kaliandara. Tak sampai seminggu memang bunga-bunga kaliandra itu layu dan berubah warna kecoklatan, namun tak masalah karena kami bisa memetiknya lagi. 

Kaliandra menemani kami bermain di masa kecil sehingga melupakan kami untuk meminta boneka yang bisa nangis saat dotnya dilepas seperti yang dimiliki beberapa teman. Keluarga kami sangat sederhana, tak pernah secara khusus membeli mainan kecuali BP (bongkar pasang) dan sebuah boneka yang dipakai bersama kedua adikku. Boneka tersebut kami buatkan baju dari kain perca sisa jahitan ibu. Sang boneka sering menjadi salah satu tokoh dalam drama kaliandra kami. Keinginan kami untuk merengek minta mainan rasanya tak ada, mungkin permainan lompat tali, petak umpet dan beberapa permainan lainnya telah membuat kami kenyang bermain bersama teman sekampung ditambah lagi tak ada iklan di televisi plus kaliandra yang tetap menjadi sarana kami berekreasi.

Kaliandra tak hanya teman bermain, ia juga adalah saksi kenakalan masa kanak-kanak. Kegiatan yang paling kubenci saat itu adalah les Bahasa Arab. Meski saat itu bapak terikat dengan sebuah organisasi keagaaman namun guru les Bahasa Arab yang bapak panggil berasal dari luar organisasinya. Ah, saat itu aku tak peduli soal organisasi. Namun, les Bahasa Arab saat itu terasa membosankan. Bagaimana tidak, yang dipelajari adalah sharaf dan nahwu semacam grammar gitu dan biasanya Sang Guru akan meminta kami menunjukkan contohnya dalam Al-Quran. Bagiku yang saat itu duduk dibangku kelas tiga SD sungguh membuat bosan. Kalau yang dipelajari adalah percakapan, mungkin lain cerita. Namun Bapak tetap memanggil guru spesialis nahwu sharaf tersebut karena meski bapak tak bisa Bahasa Arab namun tak ingin hal itu menimpa anak-anaknya. Suatu hari, satu jam menuju kedatangan guru les aku mencari strategi agar tak ikut les. Maka, saat mengetahui ibu perlu mengantarkan sesuatu ke rumah saudara, aku menawarkan bantuan untuk mengantarkannya. Setelah meyakinkan bahwa aku bisa melakukannya, akhirnya ibu menyetujui dan mewanti-wanti untuk naik angkot saja karena sebentar lagi guru les akan datang. Dengan angkot, tak lebih dari lima belas menit aku akan sampai di rumah saudara maka masih ada waktu untuk bersiap-siap mengikuti les. Bersama adikku yang saat itu duduk di kelas dua SD aku malah sengaja berjalan menuju rumah saudara lewat "tebing kaliandra" tentunya. Berjalan dengan santai tak lebih dari satu jam akhirnya kami sampai di rumah saudara dan menyerahkan titipan ibu. Kami langsung pamit pulang dengan dibekali uang untuk ongkos dan jajan padahal uang ongkos dari ibu pun belum kami gunakan. Pulangnya, kami berjalan kembali tak lupa memetik beberapa buah bunga kaliandra. Akhirnya setelah dua jam kami tiba di rumah dengan harapan Sang Guru telah pulang karena bosan menunggu kami. Saat tiba di rumah, Bapak menyambut "Nah, ini anak-anak sudah pulang" dan disusul kata-kata mutiara dari Sang Guru " Ayo, sini! Ambil buku dan Al-Qurannya". Kalau saja Kaliandra punya mulut mungkin dia sudah menertawakanku karena seberapa pun bersusah payah menghindar aku tak bisa mengelak dari Sang Guru.

Kaliandra belum berubah, terakhir aku mengunjunginya saat liburan tahun baru 2017 untuk menunjukkan kepada anak dan para keponakan mainan orang tua mereka saat kecil, kaliandra masih tetap menghuni tepian tebing itu. Meski Gunung Puteri yang menyaksikan persahabatan kami tak selebat dulu, namun kaliandra putih itu masih seperti dulu. Calliandra tetragona tersimpan di hati selalu. Pesona tanaman Leguminosae itu ternyata mampu membius bocah-bocah cilik si anak dan keponakan untuk lupa merengek minta turun gunung main ke mall di tengah macetnya Lembang di hari libur.

8 komentar:

  1. Saya baru tahu kalo ada bunga namanya Kaliandra *kemana aja* Makasih info dan ceritanya yang menarik :)

    Salam kenal - Tatat-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal kembali. Terima kasih banyak sudah berkunjung.

      Hapus
  2. Balasan
    1. Waah...ternyata deket. Masih di Kayu Ambon?

      Hapus
  3. Ah.. kenapa imajinasi saya gak nyampe ke sana buat mainin bunganya ya.. paling daunnya buat main masak-masak aja dulu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi...ayo mainin bunganya sekarang 😀

      Hapus
  4. Masa kanak-kanak emang indah banget ya mbak ^_^
    Kalo aq waktu kecil main daun singkong untuk di buatin kalung
    Kalo anak2 jaman skrg mainan nya gadget dan smartphone canggih,,, hihihi beda generasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waah... sama... saya juga suka main tangkai daun singkong :)

      Hapus