Rabu, 17 Agustus 2016

Mencari Hijab di Hijab Swimming Pool

Sobat, pernah jalan-jalan ke Lembang? Lembang memang penuh dengan tempat wisata hingga tak heran jika tiap akhir pekan macet hingga ke gang-gang. Ups, bukan ini sebenarnya yang ingin saya ceritakan. Ada tempat untuk mengisi waktu santai baru di Lembang, namanya "Hijab Swimming Pool". Sebagai emak-emak berjilbab saya sangat tertarik dengan tempat tersebut sejak jauh-jauh hari sebelum tempat tersebut dibuka, sejak terpampang tulisan "Akan dibangun Hijab Swimming Pool". Ditambah lagi bisa sambil ngasuh anak saya yang hobinya main air.
Gerbang Masuk
Gayung bersambut, ternyata ada promo diskon 50% tiket masuk hingga 14 Agustus kemarin. Akhirnya di hari jum'at  ba'da ashar saya mengajak si anak semata wayang untuk mengunjungi tempat tersebut. Sengaja tidak memilih sabtu atau minggu karena khawatir penuh. Nanti yang ada malah stress bukannya fresh. Segala perlengkapan berenang sudah disiapkan meski saya hanya bisa meluncur plus gaya batu (para perenang profesional pasti gak tahu kan gaya batu? hihi...)
Loket masuk kolam renang
Saat memasuki lokasi, ternyata kami harus membayar tiket masuk area Floating Market terlebih dahulu sebesar dua puluh ribu per orang yang nanti bisa ditukar dengan minuman. Hmmm... belum berenang sudah bayar nih, lain kali mending sekalian berkeliling eksplor floating. Ups, apa gak bosen? Ya, sudahlah demi Hijab Swimming Pool. Kami memasuki area kolam renang dengan terlebih dahulu membayar  tiket masuk kolam renang lima puluh ribu untuk berdua berhubung masih diskon 50%. Di pintu masuk kolam renang tertera tulisan "Wajib memakai pakaian renang". Penjaga pintu kolam mengingatkan "Wajib mengenakan pakaian renang ya Bu!" saya membalasnya hanya dengan senyum dan anggukan kepala. Halooo.... terima kasih sudah mengingatkan meski saya sudah baca. Masuk kolam renang gak mungkin pake mukena lah.... Oya, bagi yang tidak membawa pakaian renang bisa membeli di toko depan tempat tiket kolam. (Ngendorse tanpa dibayar lho saya :) )




Area kolam cukup bersih dengan pemandangan Lembang yang oke punya. Kolam terbentang sekitar 10 x 200 meter (gak yakin juga sih soal ukuran, hanya memperkirakan saja). Kolam renang anak sedalam 60 cm dan kolam dewasa sedalam 120-140 cm tersambung dan dipisahkan penghalang dari stainles. Air hangat yang tertulis di spanduk di depan tidak begitu terasa di kolam, entah memang kurang hangat atau kalah oleh dinginnya Lembang. Menurut saya sih lebih hangat di kolam renang Sampoerna yang ada di Jl. Sersan Bajuri.

Di depan kolam renang tertata meja-meja dan kursi tempat orang bercengkrama ditambah dipan-dipan untuk berjemur seperti di tepi pantai. Tersedia tempat penitipan barang bagi yang ingin barangnya aman. Untuk yang tidak membawa handuk? ada penyewaan juga. Tersedia pula pelampung yang bisa disewa seharga lima puluh ribu untuk yang berukuran L. Makanan? tentu saja ada, tak lupa tulisan "Dilarang membawa makanan dan minuman dari luar". Oya, bagi penyuka selfie, salah satu dinding sengaja didekorasi dengan pemandangan pantai.

Nah lho, dari tadi belum cerita hijab ya. Dalam bayangan saya, kolam renang ini dibagi menjadi dua bagian, terpisah antara laki-laki dan perempuan. Adapun anak-anak yang belum baligh bisa ikut lah ke mana aja. Saya mencoba mengeksplor seluruh isi kolam renang. Apa yang saya temukan sudah saya tulis di atas. Lalu mana hijabnya? Saking penasaran akhirnya saya menanyakannya kepada salah seorang penjaga kolam. Ternyataaa.... masih dibangun saudara-saudara... Katanya sih sudah dibangun tapi bocor, jadi harus diperbaiki kembali. Jadi.... "Hijab Swimming Pool"nya kapan-kapan aja ya...

Selasa, 07 Juni 2016

Distrust Culture

Ada kejadian yang membuat malu saat beberapa waktu lalu saya bersama seorang teman mengajak dua orang volunteer asal Amerika berkunjung ke sebuah objek wisata. Di tempat tersebut terdapat toko oleh-oleh. Tamu kami, volunteer asal California bermaksud membeli gelang untuk pacarnya. Singkat cerita dia membayarnya dikasir seharga tiga puluh ribu rupiah. Sambil menunggu saya yang sedang memilih-milih barang, rupanya dia tertarik dengan barang lain seharga lima puluh ribu rupiah. Ia pun menghampiri kasir kemudian menjelaskan bahwa ia ingin menukar barangnya. Sang kasir terdiam, kemudian saya jelaskan bahwa teman saya tersebut ingin mengembalikan barang yang tadi dan mengganti dengan yang baru dan tentu saja akan membayar kekurangannya. Tapi ternyata tidak bisa, kalau dia mau yang baru berarti dia harus membeli keduanya. Ia bertanya lagi kepada saya dan saya tanya lagi kasir, "SUDAH ATURANNYA BEGITU" kata sang kasir. Entah memang begitu atau kasir tak mau repot cancel transaksi. Akhirnya ia tak jadi membeli barang baru tersebut sambil berucap "Strange rule!". Nampaknya dia kecewa namun saya tak bisa berucap apa-apa lagi. Untunglah dia terhibur dengan panorama alam objek wisata tersebut.

Sebulan sudah berlalu namun kejadian itu masih saja terekam di kepala. Aturan yang menurut teman tersebut aneh, kok rasanya terasa biasa bagi saya. "Barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan" rasanya adalah hal yang lumrah saya temui. Hari ini saya tebak jawabannya. Dasar dari transaksi kita adalah budaya tidak percaya (distrust culture), menaruh curiga lebih dulu. Pedagang khawatir jika pembeli mengembalikan barang, barang tersebut telah "diapa-apakan"  oleh sang pembeli. Memang mungkin ada pula pembeli yang nakal melakukan itu. Tapi, dalam kasus teman saya, barang yang dibeli baru beberapa menit saja. Pantas saja dia mengatakan aneh karena ternyata di negaranya jika seseorang membeli barang dan esoknya dikembalikan dengan alasan tidak suka itu bisa. Pedagang dan pembeli keduanya saling percaya.

Nampaknya rasa saling percaya perlu dibudayakan dalam masyarakat kita. Tidak mudah memang membangun trust culture ini di tengah maraknya kasus-kasus penipuan dalam dunia jual beli semisal yang terjadi dalam sebagian jual-beli online dimana penjual menipu dengan tidak mengirim barang atau pembeli tidak membayar atau sekedar iseng saat memesan barang COD meski banyak juga ya penjual maupun pembeli yang jujur :). Ya, membangun trust culture memang tidak mudah namun masing-masing kita bisa melakukannya saat kita bertransaksi dengan berupaya menjaga kepercayaan yang diberikan orang kepada kita. Mari bangun trust culture agar Indonesia yang indah ini semaaakin indah.

Minggu, 29 Mei 2016

Wawancara Pelatihan SEAMEO QITEP IN SCIENCE

Sekitar empat hari yang lalu, aku dapat telpon dari SEAMEO QITEP in SCIENCE mengabarkan bahwa aku lolos tahap administratif untuk mengikuti Environmental Education for Sustainable Development, dan dijadwalkan interview by phone hari senin kemarin. Sampai ditelpon begini pasalnya aku daftar salah satu pelatihan SEAQIS ini. Tiap tahunnya SEAQIS rutin mengadakan pelatihan bagi guru-guru, Kepala Sekolah dan Pengawas dari Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara. Lengkapnya bisa dicek disini. Aku sendiri memilih EESD soalnya gereget banget ingin memperbaiki kondisi lingkungan dan perilaku pelajar terhadap lingkungan. Untuk ikut pelatihan ini cukup mendaftar dengan mengisi biodata, mengunggah Motivation Letter dan kalau ada bukti kecakapan Bahasa Inggris. Waktu daftar aku pakai skor ITP TOEFL.

Balik lagi soal interview. Sebelum hari H, aku googling biar ada bayangan, tapi enggak nemu. Ya, sudahlah, siapkan diri dan HP saja, jangan sampai jauhan. Kalau-kalau ada telpon untuk interview. Saat HP berdering aku berada agak jauh dari meja kerja, padahal HP sedang dicharge di meja. Saat kuangkat, ternyata sudah ditutup. Aku bergegas ke luar ruangan yang lagi ramai mencari tempat yang agak sepi. Lalu aku telpon balik. Benar saja ternyata interview dari SEAQIS. Bu Fatmia dari SEAQIS memberikan prolog dalam Bahasa Indonesia bahwa wawancara akan dilakukan dalam bahasa Inggris. Wawancara plus prolog hanya memakan waktu 4 menit 39 detik. Topik-topik wawancara yang aku ingat kurang lebih seperti ini:
1. Nama, Institusi, Latar Belakang Pendidikan
2. Motivasi mengikuti Training
3. Apa yang akan dilakukan pasca Training
4. Kemungkinan mengikuti pelatihan full 10 hari
5. Problem lingkungan yang ditemukan di sekolah
6. Keterlibatan dalam program lingkungan di Sekolah
7. Pernah/tidak mengikuti training SEAQIS

Hasilnya? Wallahu'alam. Kalau rejeki insya Allah terpanggil. Tapi kalau tidak, ya tak apa. Yang penting terus berjuang dalam pendidikan lingkungan.

Senin, 23 Mei 2016

Belajar Bicara Lewat Seminar

“Dari mana?” tanya seorang dosen UNY bersama rekannya dalam lift. “Dari Bandung Bu” jawabku singkat. “Ooh… Bandung. UPI toh?” Ehemm…. Kalau urusan Teacher Education kayaknya almamaterku ini cukup terkenal di Indonesia. Aku jelaskan bahwa aku memang alumni UPI namun hadir di Conference ini sebagai guru SMA.

Saat memasuki tempat registrasi kucari namaku di daftar presenter. Hmm… kebanyakan ternyata mewakili Universitas, beberapa dari LPMP atau Badan Penelitian. Ahey…. Aku satu-satunya dari SMA? Kayaknya di Conference ini guru adalah manusia langka. Yang dibahas adalah tentang pendidikan guru dan peningkatan profesionalisme guru. Saat orang membicarakan guru, rasanya tertuju padaku, hihihi…. Ge eR. Ketika ada yang mengungkap kasus guru yang kurang professional, aih…. Pengen teriak “Tidak semua begitu!”, meski kusadari sebagai guru masih punya banyak kekurangan.

Setelah plenary session yang diisi para expert dari berbagai universitas berbagai belahan bumi seperti Indonesia, China, Australia, Amerika dan Finlandia, acara dilanjutkan dengan sesi parallel dimana para presenter menyampaikan hasil kajian masing-masing. Aku mendapat giliran hari ke-2. Di hari pertama kuputuskan masuk ke ruangan yang penelitiannya agak berbau Science Education. Ku dengar para presenter ngobrol untuk menyampaikan presentasi dalam bahasa Indonesia saja. Aha… International Conference enggak harus pake Bahasa Inggris toh? Tiba-tiba masuklah Profesor dari University of Minnesota dan duduk tepat di sebelah ku. Waduh? Jadi beneran harus pakai bahasa Inggris nih? Karena tidak semua orang faham bahasa Indonesia. Let see…


Malam kedua tidurku jadi enggak nyenyak memikirkan harus presentasi dalam bahasa Inggris khawatir Profesor Amrik itu masuk ke ruanganku pasalnya kemarin dia menanyakan ihwal giliranku. Jadwal sesi parallel pun tiba, di jadwal aku kebagian no 8. Dalam ruangan semuanya dari Indonesia, Profesor US itu pun tak ada, mungkin kemarin dia hanya basa-basi saja menanyakan presentasiku . Ahh…. Sedikit lega, berarti bisa berIndonesia ria. Tiba-tiba duduk di sebelahku seorang peserta dari Scotland yang bekerja di Myanmar duduk di sebelahku disusul orang-orang berkulit putih lainnya termasuk Profesor US itu. O…M…G…N…A (Oh… My Gusti Nu Agung). Jadi beneran nih harus pake bahasa Inggris? Ok… harus nekad. Belum pernah ada cerita orang meninggal gara-gara presentasi in English. Meninggal ya karena dicabut nyawa.

Enam presenter yang kebanyakan dari jurusan bahasa inggris dalam dua termin nyerocos dengan bahasa Inggris lancar. Karena salah satu presenter tak hadir maka aku mendapat giliran pertama di termin III disusul dua orang dosen dari Uni apa aku lupa. Di awal aku perkenalkan diri bahwa aku bukan dari jurusan Bahasa Inggris jadi harap maklum kalau bahasa Inggrisku kurang intelegible. Saat presentasi fokusku adalah menjelaskan kajianku, tak terasa waktu mengalir sampai panitia mengingatkan bahwa waktuku tinggal 2 menit lagi sehingga sedikit ku percepat. Eh… ternyata hidupku tak berakhir di presentasi. Hihi… maklum pemula.

Dua dosen penyaji kemudian menyampaikan presentasi dalam bahasa Indonesia. Eeh… ternyata boleh? Tapi aku bersyukur dapat giliran pertama sehingga memaksakan diri cas-cis-cus presentasi. Peserta dari Scotland mengapresiasi daan Prof US itu bilang kalau aku tak perlu minta maaf soal bahasa Inggrisku katanya sudah ok. Apresiasi mereka memotivasi banget. Alhamdulillah… ketemu orang-orang positif. Biar pun sempat bikin deg-degan jadi ketagihan ikut beginian lagi :).

Kamis, 24 Maret 2016

Aturan Penulisan Daftar Pustaka

Diantara cara penulisan kutipan dan daftar pustaka yang banyak dipakai  dan diterima secara luas adalah aturan menurut APA (The American Psychological Association). Berikut aturan pengutipan menurut APA,

1. Jurnal, Majalah dan Koran dalam Bentuk Cetak 

Bentuk Umum :
Penulis, A. A., Penulis, B.B., & Penulis, C. C. (Tahun). Judul Artikel. Judul Jurnal, xx, xxx-xxx.

Judul jurnal dan nomor volume ditulis miring. Nomor tema/issue tidak perlu ditulis jika jurnal menggunakan   halaman bersambung. Bila diberi halaman per tema maka nomor tema/issue perlu ditulis di dalam kurung dekat nomor volume.

Satu Penulis :
Williams, J. H. (2008). Employee engagement: Improving participation in safety. Professional Safety, 53(12), 40-45.

Dua sampai tujuh penulis :
Keller, T. E., Cusick, G. R., & Courtney, M. E. (2007). Approaching the transition to adulthood: Distinctive profiles of adolescents aging out of the child welfare system. Social Services Review, 81, 453-484.

Delapan atau lebih penulis :
Wolchik, S. A., West, S. G., Sandler, I. N., Tein, J.-Y., Coatsworth, D., Lengua, L.,...Griffin, W. A. (2000). An experimental evaluation of theory-based mother and mother-child programs for children of divorce. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 68, 843-856.

Artikel majalah :
Mathews, J., Berrett, D., & Brillman, D. (2005, May 16). Other winning equations. Newsweek, 145(20), 58-59. 

Artikel koran tanpa penulis dengan halaman tidak bersambung :
Generic Prozac debuts. (2001, August 3). The Washington Post, pp. E1, E4.

2. Buku, Bab dalam Buku, Laporan, dsb.

Bentuk umum :
Penulis, A. A. (Tahun). Judul. Lokasi: Penerbit.

Satu penulis :
Alexie, S. (1992). The business of fancydancing: Stories and poems. Brooklyn, NY: Hang Loose Press.
 
Penulis korporasi dengan suatu edisi dan diterbitkan oleh penulis korporasi :
American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4th ed.). Washington, DC: Penulis.
 
Penulis Anonim
Dorland’s illustrated medical dictionary (31st ed.). (2007). Philadelphia, PA: Saunders.
 
Bab dalam buku :
Booth-LaForce, C., & Kerns, K. A. (2009). Child-parent attachment relationships, peer relationships, and peer-group functioning. In K. H. Rubin, W. M. Bukowski, & B. Laursen (Eds.), Handbook of peer
interactions, relationships, and groups
(pp. 490-507). New York, NY: Guilford Press.
 
Dokumen ERIC :
Shyyan, V., Thurlow, M., & Liu, K. (2005). Student perceptions of instructional strategies: Voices of English language learners with disabilities. Minneapolis, MN: National Center on Educational Outcomes, University of Minnesota. Retrieved from the ERIC database.(ED495903)


3. Jurnal, Majalah, Koran Daring (Online)

Format umum :
Penulis, A. A., Penulis, B. B., & Penulis, C. C. (Tahun). Judul Artikel. Nama Jurnal , xx, xxx-xxx. doi:xxxxxxxxxx

Artikel yang diambil dari database daring:

Tuliskan DOI artikel (Digital Object Identifier) yaitu kode unik dari penerbit untuk artikel tertentu.
 
Senior, B., & Swailes, S. (2007). Inside management teams: Developing a teamwork survey instrument. British Journal of Management, 18, 138-153. doi:10.1111/j.1467-8551.2006.00507.x
 
Bila tidak ada DOI maka tuliskan URL nya.  

Koo, D. J., Chitwoode, D. D., & Sanchez, J. (2008). Violent victimization and the routine activities/lifestyle of active drug users. Journal of Drug Issues, 38, 1105-1137. Diambil dari http://www2.criminology.fsu.edu/~jdi/
 
Artikel dari majalah daring :
Lodewijkx, H. F. M. (2001, May 23). Individual-group continuity in cooperation and competition under varying communication conditions.Current Issues in Social Psychology, 6(12), 166-182. Diambil dari http://www.uiowa.edu/~grpproc/crisp/crisp.6.12.htm

4. Sumber Daring Lainnya

Format Umum :
Author, A. A. (Year). Judul. Retrieved from web address
 
Laporan online dari NGO 
Kenney, G. M., Cook, A., & Pelletier, J. (2009). Prospects for reducing uninsured rates among children: How much can premium assistance programs help? Retrieved from Urban Institute website: http://www.urban.org/url.cfm?ID=411823
 
Laporan online tanpa penulis dan tanggal (No Date) :
GVU's 10th WWW user survey. (n.d.). Retrieved from http://www.cc.gatech.edu/user_surveys/survey-1998-10/

Web site dalam  kutipan kurung : untuk mengutip keseluruhan web site bukan dokumen tertentu maka cukup menuliskan URL dalam teks. Tidak perlu ditulis dalam daftar pustaka. Contoh :

Kidpsych is an excellent website for young children (http://www.kidpsych.org).

Sumber : 
APA Format 6th Edition. (n.d).  Retrieved from http://web.calstatela.edu/library/guides/3apa.pdf


Sabtu, 12 Maret 2016

Gara-gara Pulpen

Saat duduk di bangku sekolah, biologi adalah pelajaran yang paling tidak saya sukai dari semua pelajaran IPA. Nilai biologi di kelas 1 dan 2 SMA bahkan paling rendah dibanding mata pelajaran IPA lainnya. Tak suka biologi gara-gara banyak istilah yang bikin kepala pusing.

Menginjak kelas 3, guru biologi saya pergi ke Bangkok selama seminggu. Sepulangnya dari Bangkok beliau memperlihatkan sebuah pulpen warna toska dengan gambar kartun bertebaran dan ujung pulpen warna emas, sayang tak ada fotonya karena belum musim kamera. "Waaah.....itu beli di Bangkok Bu?" tanya banyak siswa. Saat itu segala sesuatu berbau luar negeri rasanya keren (hehe.... nasionalisme mana nasionalisme). Beliau menyampaikan bahwa beliau hanya satu membeli pulpen tersebut dan hanya akan beliau berikan kepada peraih nilai Biologi tertinggi sesekolah di Ujian Nasional (EBTANAS).

Pulpen yang diperlihatkan Bu Guru selalu terbayang dalam pikiran saya. Kalau mau pulpen seperti itu dan membeli sendiri berapa banyak uang yang harus saya keluarkan padahal untuk ongkos sekolah saja harus berhemat. Maka tak ada cara lain untuk belajar keras supaya mendapat nilai tertinggi di Ujian Nasional. Demi meraih pulpen saya rela berlama-lama belajar biologi dan akhirnya bisa bersahabat dengan biologi.

Pengumuman nilai akhirnya tiba. Hati dagdigdug antara cemas dan harap. Saya pasrah kalau rejeki pulpen toska itu akan jadi milik saya tapi kalau bukan ya sudahlah. Daan....pulpen toska itu.... akhirnya jadi milik saya, alhamdulillah. Pulpen toska itu saya pamerkan kepada ketiga adik saya. Rasanya banggaaa sekali.

Ketika almarhum Bapak menyarankan saya masuk jurusan biologi saya ikuti karena saya sudah bersahabat dengan biologi diantaranya. Setelah pengumuman hasil seleksi masuk PTN saya bersiap-siap membeli alat-alat tulis untuk kuliah. Saya pergi ke sebuah toko buku. Buku-buku, pulpen, pensil dan berbagai ATK berjejer rapi. Mata saya menjelajah sekeliling toko. Hei.... ada barang yang saya kenal sepertinya. Ya, saya kenal persis. Oh.... pulpen toska itu sangat mirip dengan pulpen hadiah dari bu guru. 

Penuh penasaran, saya menanyakan harga pulpen tersebut. Pulpen tersebut harganya Rp 1.500,-  mungkin seharga tiga ribu rupiah kalau saat ini mengingat kurs dollar US saat itu sekitar Rp 7.000. Apa? perjuangan saya untuk bisa bersahabat dengan biologi dihargai seribu lima ratus saja? Tapi.... bisa saja benar bu guru membeli pulpen itu di Bangkok, tambah ongkos jadi berapa hayo? Daan... yang lebih penting lagi sebenarnya adalah bukan masalah harga. Perjuangan tak selalu harus dihargai dengan barang atau uang. Bukankah gara-gara tantangan dari Ibu Guru tersebut saya jadi bersahabat dengan biologi? Terima kasih guru biologiku.

Kamis, 10 Maret 2016

Emak Zero Waste Bukan Alien Lagi

Dulu rasanya sudah tunai kewajiban saat membuang sampah pada tempatnya. Rasanya sudah tidak punya utang terhadap lingkungan. Sampai suatu waktu saya mengikuti kegiatan di YPBB sekitar tahun 2009 dan mendengar pecakapan dua orang anak saat menunggu acara dimulai. "Iih.... kamu jangan banyak-banyak pakai plastik! Mengotori lingkungan tahu!" ujar seorang anak kepada temannya yang membawa bekal dalam plastik. "Santai aja! Aku pasti buang di tempatnya" jawab temannya yakin. "Yeah... memangnya kalau dibuang di tempatnya bisa langsung hilang? Enggak dong!" timpal sang anak. 

Saya kemudian berpikir betapa selama ini telah banyak mengotori lingkungan. Ya, benar saya selalu membuang sampah pada tempatnya tapi nasib sampah itu kemudian tidak saya pikirkan. Kuliah di jurusan Biologi ternyata belum menyadarkan saya untuk berbuat banyak terhadap lingkungan bahkan selama ini malah menambah beban terhadap lingkungan. Saya memilah sampah organik dan anorganik di rumah namun setelah sampai di truk sampah yang datang sepekan sekali ternyata dicampur begitu saja oleh petugas kebersihan. Terbayang mungkin nantinya sampah tersebut dibakar di TPA, ups... pembakaran yang tidak sempurna bisa menghasilkan gas-gas berbahaya ditambah lagi bila sampah organik dan anorganik digabung bisa tambah parah menghasilkan dioksin (sejenis racun) lalu kalau ada orang yang sakit gara-gara sampah yang saya produksi bagaimana pertanggungjawaban saya di akhirat kelak. Duuuh.... Gustiiii.... 

Akhirnya mulailah saya mengolah sampah organik sendiri di rumah menjadi kompos dan komposnya digunakan untuk tanaman. Yeay... sambil menyelam minum air. Selain itu saya juga berupaya menggunakan plastik sekali pakai seminim mungkin. Belum bisa sampai zero sih, tapi lumayan lah. 

Dalam rangka berzero-waste saya membawa misting dan reusable bag saat pergi ke pasar atau swalayan. Di awal-awal berzerowaste, rasanya seperti Alien yang jadi pusat perhatian kalau lagi di pasar plus berasa jadi artis karena banyak ditanya sama pedagang. Suatu waktu saat saya menyodorkan misting ke tukang daging ayam dan meminta untuk tidak dibungkus plastik, sang pedagang malah bilang "Kenapa Neng enggak mau pakai plastik? Plastiknya gratis kok!". "Saya ingin daging ayamnya yang gratis Mang" timpal saya. 

Awal-awal rasanya capek tiap belanja saya harus bilang "Jangan pakai plastik! Saya bawa wadah sendiri" dan menjelaskan bahwa saya tak mau banyak sampah. Beberapa orang malah berujar " Susah buangnya ya? kalau saya suka dibuang ke selokan besar sambil pergi ke pasar". Haduuuuh.... tambah pusing pala ebi, enggak mungkin kan kalau saya bahas panjang lebar tentang 3R. Tapi lama-lama para pedagang langganan sudah hafal kebiasaan saya dan malah berkampanye ke pembeli lainnya "Coba para pembeli kayak si Neng ini, bawa wadah sendiri. Kami tak perlu mengeluarkan modal tambahan untuk membeli plastik. Yang lainnya bilang " Neng, sekarang di swalayan kantong plastik harus dibeli ya? berarti pemerintah sepikiran ya sama si Neng enggak mau banyak sampah. Coba para pembeli bawa wadah sendiri, kan Indonesia bisa bersih". Hmmm.....Alhamdulillah.... akhirnya komentar-komentar positif meluncur. 

Jauh sebelum diberlakukan kantong plastik berbayar saya sudah membawa kantong sendiri dari rumah, bahkan di dalam tas selalu nyempil foldable bag untuk jaga-jaga kalau dibutuhkan. Dulu saat saya menyodorkan kantong ke kasir, banyak orang memandang heran atau mungkin saya yang ke-GeeR-an hehe... Kini dengan diberlakukannya kantong plastik berbayar plus tulisan bahwa hal tersebut untuk menjaga lingkungan, saya tak lagi merasa seperti alien. Di swalayan terdekat saya melihat beberapa ibu juga mulai membawa kantong sendiri meskipun kebanyakan masih menggunakan kantong plastik dari swalayan mengingat harga kantong plastik sangat murah,hanya Rp 200,- saja di swalayan terdekat.